Pertanyaan
Mau nanya pak, Istri saya beberapa hari yang lalu
mengajak saya untuk menghadap Notaris mengingat bahwa statusnya saat ini
merupakan Warga Negara Singapura (dan masih tinggal di sana beberapa kali saja
ke Pontianak, Indonesia untuk urusan pekerjaan), kami sudah melangsungkan
Perkawinan di Pontianak beberapa bulan yang lalu secara Agama dan sudah ada
Penetapan Pengadilan untuk mencatatkan Perkawinan kami yang belum dicatatkan.
Tujuan kami menghadap Notaris dikarenakan Istri saya dan saya hendak membuat Perjanjian
Perkawinan terkait pisah harta mengingat bahwa dia mengatakan dia memiliki
asset-aset yang dia dapatkan dari usaha dengan suaminya terdahulu di Singapura.
Apakah ada solusinya dan bagaimana hukumnya apakah wajib bagi saya untuk
mengikuti keinginan istri saya? Terima kasih.
Jawaban
Haruskah dibuatnya Perjanjian Kawin antara suami atau
istri? Yang disebut Perjanjian Kawin melalui Akta Pemisahan Harta itu
penting dibuat agar adanya kepastian hukum bagi para pihak.
Kesepakatan memang menjadi kunci utama terkait dengan Pemisahan Harta Benda (vide Pasal
139 jo. Pasal 147 KUHPerdata). Yap,
betul sekali dan itu dibuat di hadapan Notaris.
Perlu diketahui bahwa Perjanjian Perkawinan sebagai
salah satu aspek penting dalam perkawinan yang diatur sebagaimana
ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan sebagai berikut:
(1)
Pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2)
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
(3)
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4)
Selama
perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Namun dalam Pasal tersebut tidak menyebutkan secara
jelas dan tegas mengenai pengertian Perjanjian Kawin maupun tentang
isi Perjanjian Kawin itu sendiri.
Pada umumnya suatu Perjanjian Perkawinan dimaksudkan
untuk mengatur mengenai harta kekayaan pasangan suami istri, bagaimana harta
kekayaan suami istri akan dibagi apabila terjadi putusnya perkawinan di
kemudian hari entah yang diakibatkan oleh kematian satu di antara pasangan atau
yang diakibatkan oleh perceraian dan dapat juga dimaksudkan untuk memuat
bagaimana semua urusan keuangan suami istri akan diatur atau ditangani selama
perkawinan berlangsung.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah harta kekayaan
atau keuangan adalah hal yang sensitif, sehingga ide untuk membuat
Perjanjian Perkawinan masih dianggap negatif di dalam masyarakat, khususnya
di Indonesia. Masyarakat juga masih menganggap bahwa membuat perjanjian
perkawinan adalah sama aja dengan membuat perjanjian-perjanjian yang lebih
bersifat bisnis semata.[1]
Kemudian terkait dengan Pihak Ketiga yang dimaksud
dalam Pasal tersebut di atas, untuk dapat diberlakukan bagi mereka, diwajibkan
agar Perjanjian Perkawinan untuk didaftarkan di Kepanitraan Pengadilan Negeri
dimana Perkawinan dilangsungkan (vide Pasal 152 KUHPerdata).
Akan tetapi jika mengacu pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 12
huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perjanjian
Perkawinan mulai berlaku terhadap pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai
pencatat yang kemudian dicatat di dalam Akta Perkawinan.
Kemudian Sejak hari Kamis, tanggal 27 Oktober 2016,
ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu sebelum dilangsungkan
atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut,” berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ada
beberapa catatan penting yang harus digaris bawahi terkait Perjanjian
Perkawinan antara lain:
1)
Pada waktu sebelum
dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua
belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan secara
tertulis;
2)
Kemudian disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris;
3)
Isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Artinya Perjanjian Perkawinan dapat dibuat selama
dalam ikatan perkawinan yaitu setelah terjadinya perkawinan Anda sebagai Suami
dan Istri Anda dapat membuatnya, entah nanti sifatnya disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, dalam hal ini jika Anda beragama Islam maka menjadi
kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) (vide Pasal
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Pernikahan, Talak, dan
Rujuk jo. Pasal 1 Angka 2 Peraturan Menteri
Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan) dan untuk Anda
yang beragama selain Islam maka dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil. (vide Pasal
2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanan
Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pendaftaran Pendudukan dan Pencatatan Sipil jo. Surat
Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Nomor:
472.2/5876/DUKCAPIL/2017 tertanggal 19 Mei 2017 tentang Pencatatan Pelaporan
Perjanjian Perkawinan.
Dalam SE Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil di atas
diminta juga syarat adanya Fotocopy Akta Perjanjian Kawin dari Notaris untuk
dilampirkan dalam pelaporan Perjanjian Perkawinan di Kantor Catatan Sipil
setempat.
Namun dalam beberapa kasus, Akta Perjanjian
Perkawinan itu dimintakan pengesahannya melalui Penetapan Pengadilan, contohnya
sebagaimana Penetapan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 41/Pdt.P/2015/PN.Cbn, tanggal 13 April 2015 yang dalam
amar penetapannya:
MENETAPKAN
1.
Mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan bahwa
perjanjian Perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris SIONI ANDREAS, SH. Notaris
di Kota Cirebon pada tanggal 31 Oktober 2011 dengan Akta Nomor 06 adalah sah
menurut hukum;
3.
Menyatakan bahwa
perjanjian Perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris SIONI ANDREAS,SH. Notaris
di Kota Cirebon pada tanggal 31 Oktober 2011 dengan Akta Nomor 06 Mulai berlaku
sejak tanggal penetapan ini berkekuatan hukum tetap;
4.
Memerintahkan
kepada Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Cirebon untuk mengirimkan salinan
penetapan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Cirebon tentang adanya Perjanjian
Perkawinan antara pemohon untuk dicatatkan pada Kutipan Akta Perkawinan Nomor
36/2012 tertanggal 28 Maret 2012, dan buku register perkawinan;
5.
Membebankan biaya
perkara kepada Pemohon sebesar Rp. 261.000,- (dua ratus enam puluh satu ribu
rupiah);
Adapun beberapa Pertimbangan Hukum dari Majelis Hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut di atas:
1.
Bahwa
sebagaimana Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 mengatur adanya Pencatatan Peristiwa Penting
lainnya;
2.
Bahwa apakah Akta
Perjanjian Perkawinan adalah sebagai suatu peristiwa hukum dan dapat di
kategorikan sebagai peristiwa Penting sebagaimana di maksud dalam Pasal
56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang
telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013;
3.
Bahwa Akta
Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian yang di buat atas kesepakatan bersama
sesuai ketentuan yang berlaku dan dibuat secara notariil sehingga mempunyai
kekuatan hukum dan pembuktian yang kuat, sehingga oleh karena itu Akta
Perjanjian perkawinan tersebut adalah termasuk sebagai peristiwa penting
sebagaimana dimaksud di atas;
4.
Bahwa mengenai
akta Perjanjian Perkawinan Nomor 6 tanggal 31 Oktober 2011 yang di buat oleh
Pemohon di hadapan SIONI ANSREAS,SH Notaris di Cirebon belum didaftarkan dan
disahkan oleh Pegawai Kantor Catatan Sipil Kota Cirebon pada baik sebelum
maupun pada saat perkawinan dilangsungkan bukan merupakan halangan bagi Pemohon
untuk mendaftarkan akta perjanjian perkawinan tersebut diatas.
5.
Bahwa oleh karena
akta Perjanjian Perkawinan Nomor 6 tanggal 31 Oktober 2011 yang di buat oleh
Pemohon di hadapan SIONI ANSREAS,SH Notaris di Cirebon adalah sebagai suatu
peristiwa penting, maka sesuai dengan ketentuan tersebut maka Akta Perjanjian
Perkawinan Nomor 6 tanggal 31 Oktober 2011 dapat disahkan dan di daftarkan pada
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Cirebon setelah adanya Penetapan
Pengadilan Negeri yang telah berkekuatan Hukum tetap.
Kalau dicermati Penjelasan dari Pasal 56
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang
telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, tidak
menyebutkan “Perjanjian Perkawinan” sebagai “Peristiwa Penting Lainnya”
sebagaimana yang dimaksud jelas bahwa itu adalah Perubahan Jenis
Kelamin.
Hanya saja permasalahannya yang ada dalam Penetapan di
atas sebenarnya hanya mengenai bahwa para Pemohon tidak tahu apabila Perjanjian
Perkawinan yang dibuat dihadapan Notaris Sioni Andreas, S.H. Notaris di Kota
Cirebon pada tanggal 31-Oktober 2011 dengan Nomor 06 tersebut seharusnya
dilaporkan dan dicatatakan pula kepada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil setempat. Oleh karenanya memerlukan adanya Penetapan Pengadilan untuk
Pengadilan Memerintahkan Kantor Catatan Sipil melakukan Pencatatan.
Bahwa menurut kami dengan adanya Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL/2017 tertanggal 19 Mei 2017 tentang Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan yang telah disusun dengan cukup baik, karena mengatur dan memperjelas secara keseluruhan mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan pelaporan Perjanjian Perkawinan, yang meliputi:
a.
Perjanjian
Perkawinan yang Dibuat Pada Waktu atau Sebelum Dilangsungkan Perkawinan;
b.
Perjanjian
Perkawinan yang Dibuat Selama Dalam Ikatan Perkawinan;
c.
Perjanjian
Perkawinan yang Dibuat di Indonesia, namun Pencatatan Perkawinan Dilakukan di
Negara Lain; dan
d.
Perubahan atau
Pencabutan Perjanjian Perkawinan.
Untuk persyaratan yang harus dipenuhi untuk
masing-masing Jenis Pencatatan silahkan untuk dilihat pada Surat Edaran
tersebut atau jika Anda ingin bertanya lebih lanjut hubungi kami di lawyerpontianak@gmail.com.
Namun secara umum meliputi Copy KTP Elektronik (e-KTP),
Copy Kartu Keluarga (KK), Copy Legalisasi Akta Perjanjian Perkawinan
(wajib dibuat di hadapan Notaris), dan Asli Kutipan Akta Perkawinan (Bagi
Perjanjian yang dilangsungkan selama dalam ikatan perkawinan).
Dibuat Sebagai Catatan Pinggir/Catatan Tambahan
Pencatatan Perjanjian Perkawinan yang dibuat setelah
perkawinan berlangsung dilakukan dengan cara membuat catatan
pinggir atau sering juga disebut catatan tambahan pada register
Akta dan Kutipan Akta Perkawinan. Catatan pinggir ini dibuat
oleh pejabat catatan sipil yang membuat dan mengeluarkan Akta Perkawinan
tersebut.
Prosedurnya mirip dengan pengakuan anak luar kawin,
yaitu dibuat pada catatan pinggir pada Akta Kelahiran si anak. Bedanya catatan
pinggir ini dibuat pada Akta Perkawinan.
Surat Edaran ini berlaku bagi Kantor Catatan Sipil
seluruh Indonesia yang berada di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri). Jangan lupa bahwa Catatan Sipil hanya dapat membubuhkan Catatan
Pinggir ini pada Akta Perkawinan yang dibuat dan dikeluarkan oleh Catatan
Sipil, yaitu untuk pasangan suami istri yang beragama selain islam.
Sedangkan untuk Kutipan Akta Nikah (atau dikenal
dengan istilah “Buku Nikah”) yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama (KUA), bagi
pasangan suami istri yang beragama islam tidak dapat dilakukan pencatatannya
di Catatan Sipil (seperti sudah kami jelaskan di atas).
Bagaimana dengan Pengesahan Perjanjian Perkawinan di KUA?
Dalam praktik di lapangan, teknisnya hampir mirip
dengan catatan pinggir pada Kutipan Akta Perkawinan, yaitu dituliskan pada
lembar “Catatan Status Perkawinan” yang biasanya merupakan lembaran kosong pada
Buku Nikah. Silahkan dilihat Buku Nikah anda masing-masing ya.
Setidaknya saat ini sudah mulai ada titik terang
bagaimana prosedur untuk mendaftarkan Perjanjian Perkawinan yang dibuat selama
ikatan perkawinan. Jadi semakin memperkuat keberlakuan Perjanjian Perkawinan
tersebut selain dibuat dan disahkan oleh Notaris (sesuai bunyi Putusan MK),
selanjutnya didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama
(KUA) yang mengeluarkan Akta Perkawinan atau Buku Nikah Anda.
Seberapa Pentingnya Pencatatan Perjanjian Perkawinan?
Tentu saja Penting demi terjaminnya suatu Kepastian
Hukum. Kepastian Hukum yang seperti apa? Dalam Melakukan Suatu Perbuatan Hukum
Atas:
1)
Status Hak
Kebendaan terutama Benda Tidak Bergerak seperti Tanah.
2)
Kepemilikan atau
Peralihan atau Jaminan Benda Bergerak seperti Saham.
Mengingat bahwa Negara kita dalam konstruksi Hukum
Agraria menganut asas gronds verponding verbood yaitu larangan
mengenai pengasingan tanah, dapat baca kembali Pasal 26 ayat (3)
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Bahwa orang yang kawin dengan orang asing tanpa
membuat Perjanjian Kawin tidak boleh memiliki tanah baik yang berstatus Hak
Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Guna Usaha (HGU).
Sedangkan untuk Kepengurusan Saham, kok saham sih?
Karena terkait dengan Harta Kekayaan Selama Perkawinan (vide Pasal
35 Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan).
Mengingat bahwa dalam Hukum Perkawinan kita menganut
Sistem Pencampuran Harta (een gemeenschappelijk vermogen) yang
mengakibatkan adanya mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta benda Bersama tersebut (een vermogen besturen) persoalaan
terkait saham ini, jelas bahwa ini menjadi kompleks, maka akan berlakunya
asas lex specialis derogat legi generali yaitu Undang-Undang
mana yang akan digunakan karena erkait Saham ini terdapat aturan tersendiri.
Tapi bukankah Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas itu membuat
suami-istri tidak bisa menjadi pendirinya dan tidak bisa jadi Pemegang
Saham dalam satu perseroan yang sama, bagimana maksudnya?
Ya, di situlah konsisten Hukum terlihat dan pentingnya
adanya Perjanjian Perkawinan, karena jika terkait dengan Hukum Perkawinan di
Indonesia seperti yang kami jelaskan tadi bahwa Hukum Perkawinan Indonesia
menganut konsep Harta Bersama, artinya suami-istri merupakan subjek hukum yang
satu kesatuan melakukan perbuatan hukum terutama mengingat Perseroan Terbatas
merupakan Subjek Hukum yang berbeda dengan pertanggung jawaban yang berbeda
pula, makanya Undang-Undang Perseroan Terbatas melarang, suami-istri menjadi
para pihak yang mendirikan Perseroan.
Pasangan suami-istri dapat membuat Perjanjian
Perkawinan sebelum atau sesudah perkawinan terjadi.
Konsekuensinya apa? Jelas bahwa akan mengatur terkait pemisahan harta benda
yang diperoleh suami istri selama perkawinan (terhadap harta bersama)
Dengan adanya pemisaham harta tadi maka dalam
perkawinan suami atau pun istri memiliki masing-masing perbuatan hukumnya
sendiri atas harta benda yang diperolehnya. (vide Pasal 29 jo. Pasal
36 Undang-Undang tentang Perkawinan jo. Putusan
MK Nomor 69/PUU-XIII/2015)
Perlu diingat bahwa dalam Hukum Penanaman Modal
dikenal ada 2 (dua) bentuk Penanaman Modal beserta konsekuensi dan perbuatan
hukumnya yaitu:
1)
Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN);
2)
Penanaman Modal
Asing (PMA).
Kalau suatu Perusahaan Berbadan Hukum seperti
Perseroan Terbatas (PT) tersebut awalnya milik istri terus ada Perjanjian Kawin
kemudian jika ada unsur asingnya (suami) dalam berjalannya suatu perkawinan.
Maka harta benda terkait saham (benda bergerak yang tidak berwujud) ini harus
diubah menjadi PT PMA.
Terakhir dari kami bahwa Langkah awalnya sudah tepat
Ketika istri Anda mengajak Anda untuk menghadap Notaris dan Konsultasikan saja
ke Notaris atau pada orang yang sudah berpengalaman di bidang Perumusan
Perjanjian Perkawinan. Terima Kasih, semoga membantu.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Happy Susanto, “Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Pentingnya Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono Gini”, (Jakarta; Visimedia, 2008), 85.