Pengertian dan Konsep Perizinan
Dalam terminology hukum “izin” (vergunning)
merupakan sebagai sesuatu yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan syarat
terhadap suatu perbuatan yang memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada
umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.[1] Beberapa
Sarjana Hukum mengartikan “Perizinan” dengan sudut pandang yang berbeda-beda
antar satu dengan yang lainnya.
Seperti yang dikemukan oleh Ernst Utrecht
mengartikan vergunning ialah apabila pembuat peraturan secara
umum tidak melarang suatu perbuatan, masih memperkenankan perbuatan tersebut
asalkan diadakan sebagaimana yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit
yang mengatur hal tersebut berdasarkan Keputusan Administrasi Negara yang
memperkenankan perbuatan tersebut yang kemudian disebut dengan izin (vergunning).[2]
Sedangkan N.M. Spelt dan J.B.J.M. Ten Berge, izin
merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan ketentuan
perundang-undangan atau peraturan pemerintah dalam keadaan tertentu yang
menyimpang dari ketentuan yang dilarangan oleh peraturan perundang-undangan
(ini yang kemudian disebut sebagai pengertian izin dalam arti sempit).[3]
Kemudian mantan Hakim Agung, Bagir Manan mengartikan
izin dalam arti luas , yang berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau
perbuatan tertentu yang secara umum dilarang.[4]
Yang mana pengertian dari izin yang Bagir Manan
sampaikan sesuai dengan Pasal 1.3 ayat (2) Awb (Algemene wet
bestuursrecht) atau Kitab Undang-Undang Hukum Administrasi Umum Belanda yang
menyatakan:
“Een
vergunning is een officiële (noodzakelijke) toestemming van de overheid om een
bepaalde in principe verboden activiteit uit te voeren.”
Suatu Peraturan perundang-undang harus memberikan
lebih banyak keteraturan (brengt meer orde door) dengan membedakan empat
konsep dalam rezim perizinan:[5]
1)
Rezim Vrijstelling (exemption)
atau rezim pengecualian ini berlaku yaitu apabila suatu aturan yang dibuat
pengecualiannya terhadap sesuatu larangan atau perintah hukum untuk beberapa
kategori suatu hal tertentu;
2)
Ontheffing (acquittal) pembebasan atau rezim
pembebasan ini berlaku apabila keputusan administrasi itu dibuat terhadap
larangan atau perintah hukum pembebasannya diberikan pada
tingkat perseorangan atau individu;
3)
Vergunning (Izin) yaitu apabila suatu keputusan
administrasi yang mengizinkan tindakan tertentu;
4)
Erkenning atau rezim pengakuan yaitu apabila
diterbitkannya suatu keputusan yang menetapkan bahwa seseorang atau badan
memenuhi suatu persyaratan tertentu.
Pencabutan Izin Usaha Bar dan Kafe Holywings
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan secara resmi
beberapa hari yang lalu mencabut izin usaha semua outlet perusahaan
bar dan kafe Holywings karena dinilai terbukti melanggar ketentuan.
Adapun ketentuan yang digunakan Pemerintah Provinsi
Daerah Istimewa Ibu Kota (Pemprov DKI) Jakarta adalah Peraturan
Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Peraturan
Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha
Pariwisata.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi DKI Jakarta, Benny Agus Chandra menyatakan bahwa
seluruh outlet Holywings di Jakarta berjumlah 12 tempat.
Di sisi lain, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Andhika Permata memastikan bahwa pihaknya
menemukan sejumlah pelanggaran yang melandasi rekomendasi pencabutan izin
12 outlet Holywings.
Salah satu pelanggaran itu antara lain beberapa outlet
Holywings di Ibu Kota belum memiliki Sertifikat Standar KBLI 56301 jenis usaha
Bar yang telah terverifikasi itu berdasarkan peninjauan lapangan bersama Satpol
PP DKI Jakarta, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Provinsi DKI
Jakarta, dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM (DPPKUKM).
Selain itu dugaan pelanggaran itu juga ditemukan dari
hasil pemeriksaan perizinan Online Single Submission Risk-Based
Approach (OSS RBA).
Sertifikat standar KBLI 56301 merupakan klasifikasi
yang harus dimiliki pengusaha bar yang menjual minuman beralkohol, non-alkohol,
dan makanan kecil di tempat usaha mereka.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan
UKM Provinsi DKI Jakarta, Elisabeth Ratu Rante Allo menyebut berdasarkan
penelusuran Pemprov DKI Jakarta, Holywings Group di Jakarta ternyata hanya
memiliki Surat Keterangan Pengecer (SKP) Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI) 47221.
Menurut Elisabeth, pemilik surat izin ini hanya untuk
pengusaha yang mengecer minuman beralkohol dan sertifikat itu tidak
memperbolehkan pemilik usaha membolehkan pembelinya meminum minuman beralkohol
di tempat.
“Hasil pengawasan di lapangan, usaha tersebut
(Holywings Group) melakukan penjualan minuman beralkohol untuk minum di tempat
yang secara legalitas seharusnya memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung
(SKPL) golongan B dan C dengan PB- UMKU KBLI 56301,” kata Elisabeth.
Elisabeth mengatakan 7 dari 12 outlet Holywings di
Jakarta hanya memiliki Surat Keterangan Pengecer (SKP) Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 47221.
“Jadi, ada 5 outlet lainnya tidak memiliki surat
tersebut,” lanjut Elisabeth.
Lebih lanjut, 12 outlet Holywings di Jakarta yang
izinnya dicabut di bawah ini:
1.
Holywings
Kelurahan Tanjung Duren Utara;
2.
Holywings
Kalideres;
3.
Holywings di
Kelapa Gading Barat’
4.
Tiger;
5.
Dragon;
6.
Holywings PIK;
7.
Holywings Reserve
Senayan;
8.
Holywings
Epicentrum;
9.
Holywings Mega
Kuningan;
10.
Garison;
11.
Holywings
Gunawarman, dan
12.
Vandetta Gatsu.
Penjelasan Singkat
“Aturan Penutupan dan Dasar Hukum Pemberian Sanksi”
Memahami Aturan yang dipergunakan sebagai dasar
“penutupan” atau “penindakan” yang mana sampai menurunkan SATPOL PP dalam
rangka menentukan Sanksi yang digunakan sebagaimana ketentuan Pasal
46 beserta Penjelasannya Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum, menjelaskan:
“Setiap
orang atau badan dilarang mengedarkan, menyimpan dan
menjual minuman beralkohol tanpa izin dari pejabat yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Penjelasan Pasal 46 di atas menyebutkan:
“Yang
dimaksud dengan minuman beralkohol adalah minuman
beralkohol golongan A (kadar ethanol kurang dari 5% (lima persen), golongan B
(kadar ethanol lebih dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen)
dan golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan
55% (lima puluh lima persen).”
Pengertian, Pengaturan, Jenis, dan Kadar Minuman Beralkohol
Memahami apa yang dimakud “minuman beralkohol” lebih
jelas, yang kemudian untuk pengertian minuman beralkohol itu
sendiri diatur sebagai jelas dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman
Beralkohol, yang menyebutkan:
“Minuman
Beralkohol adalah minuman yang mengandung etil alkohol atau etanol (C2H5OH)
yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan
cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi.”
Minuman Beralkohol berdasarkan asal produksinya
terdiri dari:
1)
Minuman
Beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri yaitu dibagi lagi menjadi 2
(dua) yaitu:
1.
Minuman
beralkohol non-tradisional; dan
2.
Minuman
beralkohol tradisional; atau (vide Pasal 1 Angka 2 Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman
Beralkohol)
2)
Minuman
beralkohol berasal dari impor. (vide Pasal 2 Peraturan
Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman
Beralkohol)
Kadar Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi
dalam negeri maupun yang asal impor dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan
antara lain:
a.
Minuman
Beralkohol golongan A adalah
minuman yang mengandung etil alcohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar sampai
dengan 5% (lima persen);
b.
Minuman
Beralkohol golongan B adalah
minuman yang mengandung etil alcohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih
dari 5% (lima persen) sampai dengan 20% (dua puluh persen);
dan
c.
Minuman
Beralkohol golongan C adalah
minuman yang mengandung etil alcohol atau etanol (C2H5OH) dengan kadar lebih
dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 55% (lima puluh lima persen) (vide Pasal
3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Minuman Beralkohol)
Kemudian, Minuman Beralkohol sebagaimana dimaksud di
atas itu ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan. (vide Pasal
3 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Minuman Beralkohol)
Pengawasan di sini meliputi pengawasan
terhadap pengadaan Minuman Beralkohol yang berasal dari produksi dalam
negeri atau asal impor serta peredaran dan penjualannya. (vide Pasal
3 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan
Pengawasan Minuman Beralkohol)
Disebutkan juga bahwa Minuman Beralkohol yang
berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku
usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
Sedangkan Minuman Beralkohol yang berasal dari
impor hanya dapat diimpor oleh pelaku usaha yang telah memiliki
perizinan impor dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang perdagangan.
Minuman Beralkohol hanya dapat diedarkan setelah
memiliki izin edar dari kepala
Lembaga yang menyelenggarakan pengawasan di bidang obat dan makanan.
Kemudian, minuman Beralkohol hanya dapat
diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin
memperdagangkan Minuman Beralkohol sesuai dengan penggolongannya sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perdagangan. (vide Pasal 4
Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Minuman Beralkohol)
Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol
Minuman beralkohol hanya dapat diperdagangkan oleh
pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan minuman
beralkohol sesuai dengan penggolongan di atas. Adapun beberapa ketentuan
dalam penjualan minuman beralkohol:
1.
Minuman
beralkohol golongan A, B, dan C hanya dapat dijual di:
a.
hotel, bar,
dan restoran yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan
perundang-undangan di bidang kepariwisataan;
b.
toko bebas bea;
dan
c.
tempat tertentu
selain huruf a dan b di atas yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota dan Gubernur
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dengan ketentuan tempat
tersebut tidak berdekatan dengan tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan
rumah sakit.
d.
Minuman
beralkohol golongan A juga dapat dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan.
e.
Penjualan minuman
beralkohol dilakukan terpisah dengan barang-barang jualan lainnya. (vide Pasal
7 Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Minuman Beralkohol)
Kemudian, Bupati/Walikota dan Gubernur untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap produksi,
peredaran dan penjualan Minuman Beralkohol Tradisional untuk kebutuhan adat
istiadat atau upacara keagamaan di wilayah kerja masing-masing. (vide Pasal
8 Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Minuman Beralkohol)
Sanksi Administrasi oleh Pemprov DKI
Pemberian Sanksi dalam konteks holywings dengan
ketentuan sebagai berikut, disebutkan bahwa:
“Setiap
Pengusaha Pariwisata yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
1.
Pasal 37
ayat (1); (Pelaku usaha
yang memperoleh Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP) wajib melakukan
sertifikasi usaha dan sertifikasi kompetensi melalui lembaga sertifikasi)
2.
Pasal 38
ayat (2); (Setiap
Pengusaha Pariwisata berkewajiban menjaga dan menghormati norma agama, budaya,
dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat)
3.
Pasal 39; (Waktu Penyelenggaraan)
4.
Pasal 43; (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha)
dan
5.
Pasal 46
ayat (1) (Setiap
pengusaha pariwisata wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Usaha pariwisata
kepada Kepala Dinas setiap 6 (enam) bulan sekali), dikenai sanksi
administratif.” (vide Pasal
52 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata)
Kemudian, Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
berupa:
a)
teguran tertulis
pertama;
b)
teguran tertulis
kedua;
c)
teguran tertulis
ketiga;
d)
penghentian
sementara kegiatan usaha pariwisata; dan
e)
pencabutan TDUP
disertai dengan penutupan kegiatan usaha pariwisata. (vide Pasal
52 ayat (2) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Usaha Pariwisata)
Harus dipahami juga bahwa teguran tertulis dilakukan
secara kumulatif dan bertahap yaitu
mulai dan dari teguran tertulis pertama, teguran tertulis Kedua, teguran
tertulis ketiga antara lain:
-
teguran tertulis
pertama dengan tenggang waktu selama 7 (tujuh) hari kerja sejak surat teguran
tertulis pertama diterima oleh yang bersangkutan;
-
teguran tertulis
kedua dengan tenggang waktu selama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak teguran
tertulis pertama berakhir; dan
-
teguran tertulis
ketiga dengan tenggang waktu selama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak teguran
tertulis kedua berakhir.
Kemudian Teguran tertulis kedua dan ketiga yang
diberikan selama pelanggaran masih terjadi atau adanya bentuk pelanggaran lain
dengan ketentuan sanksi yang sama.
Selain sanksi teguran tertulis diberikan juga kepada
usaha pariwisata yang tidak melaksanakan Sertifikasi Usaha dan Sertifikasi
Kompetensi dengan tenggang waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kerja. (vide Pasal
53 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata)
Sementara untuk Sanksi Penghentian Sementara kegiatan
usaha dikenakan kepada pengusaha pariwisata yang tidak mematuhi sanksi teguran
tertulis ketiga. Sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha diberikan juga
kepada Penyelenggara dan/atau Pengusaha Pariwisata dalarn hal:
-
Pengusaha
Pariwisata tidak menyelenggarakan kegiatan usaha secara terus menerus untuk
jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih;
-
tidak memiliki
Tanda Daftar Pertunjukan Temporer;
-
melakukan
pelanggaran ketentuan waktu penyelenggaraan usaha pariwisata; dan
-
Pengusaha
Pariwisata yang terbukti melakukan pelanggaran ketentuan penyelenggaraan usaha
di bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha dan hari raya
keagamaan lainnya.
Pengenaan sanksi Penghentian Sementara kegiatan usaha
pariwisata dilakukan oleh Dinas dan apabila dilanjutkan dengan penutupan
berkoordinasi dengan Perangkat Daerah yang bertanggung jawab di bidang
penegakan Peraturan Daerah (vide Pasal 59 ayat (1)
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum)
Untuk Sanksi Pencabutan TDUP dikenakan kepada
Pengusaha Pariwisata yang tidak mematuhi Sanksi Penghentian Sementara kegiatan
usaha pariwisata.
Sanksi Pencabutan TDUP sebagaimana dimakud diberikan
juga kepada:
-
Pengusaha
Pariwisata yang terkena sanksi penghentian kegiatan usaha sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
-
Pengusaha
Pariwisata yang tidak menyelenggarakan kegiatan usaha secara terus menerus
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun atau lebih; dan/atau
-
Pengusaha
Pariwisata yang menyampaikan dokumen yang dipalsukan pada saat proses
pendaftaran usaha pariwisata dan/atau pemutakhiran TDUP.
Untuk pengurusan TDUP sendiri itu dapat dibaca di sini
(khusus
untuk Pemprov DKI Jakarta)
Permasalahan Pelik Penutupan yang Berdampak pada
Ketenagakerjaan
Masih mengutip aturan yang sama sebagaimana Pasal
2 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Usaha Pariwisata menyebutkan:
“Penyelenggaraan
usaha pariwisata bertujuan untuk mengatur tata kelola pendaftaran,
penyelenggaraan, pembinaan, pengawasan dan evaluasi usaha pariwisata
dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaku industry pariwisata dalam
menyelenggarakan usaha pariwisata.”
Dimana ketahui juga setidaknya ada 3.000
karyawan yang terdampak atas kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap
penutupan tersebut. Bagaimana ketentuan yang mengatur secara masuk akal bahwa
belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (konteks pidana) akan
tetapi dimana ranahnya merupakan ranah sanksi administrasi mengakibatkan baik
pelaku usaha dalam menjalankan usahanya tidak mendapatkan kepastian hukum juga
3.000 pekerja yang terdampak, apakah hal yang sudah terjadi sudah membuat hukum
itu tegak dan menjadi adil?
Harusnya jika memang dari awal sudah dapat diduga
dapat ditemukan adanya pelanggaran, sebagaimana ketentuan Pasal 49
ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata, dimana Dinas terkait
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha pariwisata dapat
berupa pemantauan, monitoring atau pemeriksaan ke lapangan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya dimana itu dilakukan secara rutin dan khusus.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1] Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), 198.
[2] Andrian Sutedi, “Hukum Perizinan dalam
Sektor Pelayanan Publik”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 167.
[3] Helmi, “Hukum Perizinan Lingkungan
Hidup”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 77.
[4] Andrian Sutedi, “Hukum Perizinan dalam
Sektor Pelayanan Publik”, Op.cit, 170.
[5] Rijksoverheid, “Kenniscentrum voor beleid en regelgeving”. Rijksoverheid. Accessed June 30, 2022. https://www.kcbr.nl/beleid-en-regelgeving-ontwikkelen/integraal-afwegingskader-voor-beleid-en-regelgeving/instrumenten/beleidsinstrumenten/juridisch/vergunningen#:~:text=Een%20vergunning%20is%20een%20offici%C3%ABle,verboden%20activiteit%20uit%20te%20voeren.