Ilustrasi Jaminan Fidusia |
Satu di antara parameter dari jaminan kebendaan yang
baik adalah bila jaminan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses
yang sederhana, efisien, dan mengandung kepastian hukum. Seperti yang kita
ketahui bahwa kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
18/PUU-XVII/2019 tanggal 25 November 2019 bahwa eksekutorial
Sertifikat Jaminan Fidusia dapat dilakukan secara langsung yakni dilaksanakan
tanpa melalui proses peradilan dan bersifat final dan mengikat para pihak untuk
melaksanakan Eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia tersebut.[1]
Sebagaimana pendapat dari Soerjono dalam Retno, bahwa
kekuatan eksekutorial atas Sertifikat Jaminan Fidusia memberikan hak kepada
penerima fidusia atau kreditur untuk dapat mengeksekusi jaminan fidusia dengan
syarat debitur atau pemberi fidusia cidera janji atau wanprestasi.[2]
Dikarenakan kredit yang terhutang
atas perjanjian yang dibuat dengan jaminan fidusia tersebut, dapat dilakukan
penagihan. Penagihan atas kredit itu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penagihan di luar pengadilan dan penagihan di dalam pengadilan.[3]
Hal tersebut sudah sesuai dengan Penjelasan pada Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan:
“Dalam
ketentuan ini, yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.”
Namun, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, bahwa Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia kemudian ditafsirkan:
1.
Sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)
dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan
fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi
Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan
eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
2.
Menyatakan Pasal
15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang
frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji
tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan
antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan
telah terjadinya cidera janji.”
3.
Menyatakan bahwa
Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan
dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap
jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur
keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka
segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat
Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.”
Kemudian, dalam Risalah
Sidang Perkara Nomor 2 PUU- XIX/2021, Mahkamah berpendapat bahwa kalau
dicermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 itu,
tidak menggeser sedikit pun pengertian bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia tetap
mempunyai kekuatan eksekutorial, yang digeser itu adalah tata cara eksekusinya.
Pada hakikatnya tidak hilang, bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai
kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Akan tetapi, fakta lapangannya hingga saat ini
khususnya dalam penarikan unit kendaraan roda 2 (dua) kerap kali, sebagian
pihak seperti debitur, berpendapat bahwa eksekusi jaminan tersebut harus
melalui proses pengadilan oleh karena mereka merasa penarikan terhadap objek
atau unit kendaraan roda 2 (dua) yang dijaminkan dalam bentuk fidusia tersebut
tidak dapat ditarik serta merta sebagaimana yang sering terjadi dimana pihak
kreditur atau perusahaan pembiayaan lakukan. Dalam beberapa kasus dimana
Perusahaan Pembiayaan menggunakan Pihak Ketiga, yaitu debt collector
untuk melakukan eksekusi atau bahasa umumnya melakukan penarikan terhadap unit
kendaraan roda 2 (dua) atau benda yang menjadi jaminan fidusia dengan tidak
menunjukkan Sertifikat Jaminan Fidusia dari objek yang sudah disepakati antara
kreditur dengan debitur.
Selain itu, timbul pemahaman bahwa dimana dalam
eksekusi jaminan fidusia, menurut sebagian masyarakat harus melibatkan pihak
Kepolisan mengacu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya akan
disebut KUHPidana) yaitu pengambil alihan objek jaminan fidusia hanya
diperbolehkan jika mendapat putusan dari Pengadilan dimana objek jaminan
fidusia tersebut berada dan debt collector dapat mengeksekusi objek
jaminan fidusia atas pendampingan dari kepolisian yang didahulukan dengan
permohonan ke Kepolisian di wilayah objek jaminan fidusia tersebut berada. Ini
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia.
Dari sisi Perusahaan, Direktur Keuangan Adira Finance I
Dewa Made Susila, berpendapat bahwa proses penarikan barang kredit
kendaraan roda 2 (dua) pada perusahaannya sudah sesuai dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK). Ia menjelaskan bahwa eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia
melalui PN sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan
dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur berkaitan dengan
wanprestasi. Eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan apabila terjadinya
wanprestasi atau cidera janji terhadap perjanjian yang telah disepakati oleh
kreditur dan debitur, dimana tetap harus memperhatikan segala aspek hukum yang
berlaku. Akhirnya, sebagaimana pokok persoalan di atas pada intinya, terdapat 2
(dua) pandangan yang berbeda mengenai pelaksanaan eksekusi jamina fidusia, dan
hal ini masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang perlu diselesaikan.
Oleh karenanya patut diketahui, permasalahan yang
sampai hari ini terjadi setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut semakin memperkuat penafsiran sebagian
orang yang mana meskipun dalam Sertifikat Jaminan Fidusia menyatakan
dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak secara otomatis mempunyai kekuatan eksekutorial dan dipersamakan dengan Putusan Pengadilan.
Akan tetapi jika dicermati lagi bahwa Mahkamah
Konstitusi (MK) berpendapat bahwa yang memutuskan cidera janji dalam suatu
perjanjian dengan Jaminan Fidusia tidak ditentukan secara sepihak, tetapi atas
dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum
yang menentukan telah terjadi cidera janji. Hal ini tertuang dalam Putusan
MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 atas uji materi Pasal 15 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia.
Mahkamah Konstitusi menyatakan nampak jelas dan terang
benderang bahwa aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal
15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak mencerminkan adanya
pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat
dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik
perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan. Sebab, dua elemen
mendasar yang terdapat dalam pasal a
quo, yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi
dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia
(kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi.
Dasar Perjanjian Jaminan Fidusia
Perjanjian adalah unsur penting sebelum dilakukannya pemberian dan penerimaan jaminaan kebendaan terkhususnya jaminan fidusia. Perjanjian itu sendiri dibuat berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata ialah suatu persetujuan yang mana terhadap suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Yang artinya suatu perjanjian dilakukan antara dua orang atau lebih mengikat antara satu sama lain untuk melaksanakan sesuatu.
Dalam hal ini diperlukan syarat sah perjanjian agar
perjanjian tersebut sah di mata hukum. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur
mengenai syarat sah perjanjian. Supaya terjadi perjanjian yang sah, perlu
dipenuhi empat syarat yakini:[4]
1.
Kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu pokok persoalan tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
Kesepakatan mereka yang
mengikatkan diri sendari awal terhadap suatu Perjanjian di sini bermakna dalam
suatu dasar dibuatnya perjanjian ada syarat sah perjanjian yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif perjanjian sebagaimana Pasal 1320
KUHPerdata di atas.
Dalam kesepakatan inilah kemudian ada unsur sukarela dan inilah yang
kemudian ketika melakukan perjanjian sebelum menyanggupi apa yang disepakati
menjadi syarat utama yang absolut pada saat perjanjian itu dibuat. Dalam
beberapa perkara dasar dari suatu perjanjian antara debitur dan kreditur
terkait perjanjian pembiayaan yaitu salah satu pihak mengalami wanprestasi,
politik hukum Mahkamah Agung cenderung menyatakan terkait dengan sifat
eksekutorial itu adalah suatu exceptional (pengecualian) dalam
rangka memberikan keadilan bagi para kreditur dengan melihat dari case (non-general)
kasuistik.
Mengingat, Undang-Undang Jaminan
Fidusia memberikan hak pada Penerima Fidusia untuk menguasai objek jaminan
fidusia apabila Pemberi Fidusia tidak bersedia menyerahkan secara sukarela
barang jaminan yamg dikuasai atau yang dikenal dengan right to
repossess.
Oleh karenanya jangan
dipersamakan dan bentuk dari hal tersebut dipersamakan dengan sendari awal
adanya klausul eksoneransi atau klausula baku sebagaimana ruang dan bangunan
Perlindungan Konsumen.
Terkait dengan Perjanjian dalam
konteks Perjanjian Pembiayaan atau dalam eksistensi pranata
hukum secara umumnya dikenal dengan leasing di Indonesia
sendiri itu sudah ada sejak lama. Beberapa perusahaan leasing yang
statusnya sama sebagai suatu lembaga keuangan non-bank. Leasing adalah
setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan atau
menyewakan barang-barang atau modal untuk digunakan oleh
perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu dengan kriteria.[5]
Kegiatan leasing di
Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/74 dan No.30/KPB/1/74 tentang Perizinan
Usaha Leasing. Dalam ketentuan dalam SK Bersama tersebut leasing
adalah:
“Kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak opsi bagi perusahaan
yang menyewa untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati
bersama,”
Peraturan pelaksana terkait
dengan kegiatan sewa guna usaha salah satunya diatur Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna
Usaha (Leasing). Pasal 1 huruf a Kepmekeu tersebut
mendefinisikan leasing sebagai:
“Kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi
(operating lease) untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.”
Setiap
transaksi leasing setidaknya melibatkan para pihak, yaitu lessor dan lessee. Pasal
1 KMK 1169/1991 mendefinisikan lessor sebagai perusahaan
pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin
usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha.
Sementara itu, yang
dimaksud lessee adalah perusahaan atau perorangan yang
menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari lessor. Hal ini
berarti lessor merupakan pihak yang memiliki hak kepemilikan
atas barang, sementara lessee adalah pihak penyewa atau
pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi.
Adapun sewa guna usaha memiliki 2
golongan, yaitu sewa guna usaha (finance lease) dan sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease). Penggolongan sewa guna
usaha ini penting untuk diperhatikan karena berpengaruh pada aspek perpajakan
yang harus dipenuhi.
Kemudian sejak tanggal 19
November 2014, sebagaimana ketentuan Pasal 71 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014
tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Pembiayaan yang menjelaskan bahwa:
“Pada
saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai
penyelenggaraan usaha Lembaga Penjamin tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.”
Artinya, dasar hukum dan aturan
yang mengatur sebagaimana di atas tidak lain dan tidak bukan diatur oleh
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bukan lagi Menteri Keuangan.
Debitur Wanprestasi
Terkait dengan wanprestasi yang
dimaksudkan juga, dalam praktiknya, pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang
telah ditentukan dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang tidak
dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan
oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan alasan tersebut antara lain
adalah:
1.
Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun
kelalaiannya: Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian;
2.
Karena keadaan memaksa (Overmacht / force
majure), di luar kemampuan debitur, atau debitur tidak bersalah:
Keadaan memaksa.
Kemudian apabila perjanjian tersebut mengakibatkan
cidera janji (wanprestasi) maka diperlukan adanya penyelesaian yang dapat
ditempuh melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Secara ringkas, litigasi
diartikan sebagai penyelesaian sengketa antara para pihak yang dilakukan di
muka pengadilan, sedangkan non-litigasi/penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau dikenal dengan alternative penyelesaian sengketa
dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Selain itu, dikenal pula arbitrase yaitu
cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum. Akan tetapi sebelum lebih jauh, ada
upaya yang harus terlebih dahulu ditempuh yaitu melakukan somasi.
Somasi digunakan untuk menyebut
suatu peringatan atau biasa disebut surat teguran. Selain istilah tersebut,
somasi juga sering disebut pernyataan lalai atau dalam bahasa Belanda
disebut in gebreke gesteld. Somasi diatur dalam Pasal
1238 KUHPerdata yang berbunyi:
“Si
berhutang adalah lalai apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perkatannya sendiri, ialah jika
ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan.”
Dalam Pasal 1243 KUH
Perdata, diatur tentang tuntutan wanprestasi suatu perjanjian. Hal ini
hanya dapat dilakukan jika si berhutang telah diberi peringatan karena ia telah
lalai dalam menjalankan kewajibannya. Peringatan ini dikeluarkan dalam bentuk
tertulis, hal inilah yang disebut dengan somasi.
Di dalam hukum perdata tidak
dituliskan tentang siapa saja yang bisa membuat atau mengeluarkan somasi. Ini
berarti siapapun bisa mengeluarkan somasi asalkan orang tersebut mempunyai hak
untuk melakukan perbuatan hukum. Tentu saja dalam hal ini Perusahaan
Pembiayaan.
Kemudian, disebutkan bahwa apabila debitur atau
pemberi fidusia, setelah disepakati para pihak, dipandang cedera janji
(wanprestasi), eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan
cara yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu:
“Apabila
debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:
a.
Pelaksanaan
titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh Penerima
Fidusia;
b.
Penjualan
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia
sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan;
c.
Penjualan di
bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima
Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan para pihak.”
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka cara-cara
eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia, yaitu:
1.
Pelaksanaan titel
eksekutorial;
2.
Menjual atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum;
3. Penjualan di bawah tangan.
Tata Cara Eksekusi Jaminan Fidusia
Dari Pihak Perusahaan Pembiayaan
dapat berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL)
atau Pejabat Lelang setempat dan mempersiapkan dokumen terkait, ini bersesuai
sebagaimana Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor
213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, oleh karena
kalau sudah ada Sertifikat Jaminan Fidusia yg dikeluarkan Kemenkumham dan sudah
dapat dieksekusi dengan dua syarat kumulatif antara lain:
1)
Kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi)
sebagaimana penjelasan di bawah; dan
2)
Pemberi Fidusia (debitur) dengan sukarela menyerahkan
objek jaminan fidusia dalam rangka eksekusi sebagaimana ketentuan Undang-Undang
Jaminan Fidusia.
Kalau berdasarkan Penjelasan
Pasal 30 Undang-Undang Jaminan Fidusia menjelaskan bahwa dalam hal
Pemberi Fidusia tidak menyerahkan menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia (kreditur) BERHAK
mengambil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu
DAPAT meminta bantuan pihak yang berwenang.
Pihak yang berwenang di sini
yakni Pengadilan Negeri sebagaimana termaktub dalam Putusan
MK Nomor 71/PUU-XIX/2021. Polisi bukan eksekutor ya! Tapi Pengadilan
kewenangan polisi hanya bersifat mengamankan jalannya eksekusi.
Kembali ditegaskan Sengketa yang
ditimbulkan dari Perjanjian Pembiayaan baik dengan hak tanggungan maupun
fidusia tidak tunduk pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga bukan
kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) / sejenisnya. (vide 1/Yur/Perkons/2018)
Catatan penting lainnya, Sertifikat Jaminan Fidusia itu wajib didaftarkan bisa
lihat dengan adanya ketentuan Permenkumham Nomor 17 Tahun 2020 tentang
Tata Cara Permohonan Data Jaminan Fidusia jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Catatan Tambahan:
Sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Pembiayaan,
berlakulah Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.010/2012
tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan
Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
menjelaskan bahwa Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan
jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang
yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (vide Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 130/PMK.010/2012 jo. Pasal
21 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014)
Yang jadi masalah kalau jaminan fidusia atau
perjanjian hutang piutang antara debitur dan kreditur (perusahaan pembiayaan)
dilakukan di bawah tangan. Karena pada akhirnya harus melalui gugatan terlebih
dahulu di Pengadilan perihal wanprestasi terkait hal tersebut dan prosesnya
lebih lama.
Bahwa perlu dicatat dan diingat bahwa Putusan MK tidak
serta merta menghilangkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan eksekusi jaminan fidusia. Putusan tersebut hanya memberikan
pemaknaan jika terdapat perselisihan, maka proses eksekusi dilakukan
dengan mengajukan eksekusi ke pengadilan bukan gugatan ataupun meminta putusan
ke pengadilan.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1]
Dwi R.P., Purwadi, H., dan Saptanti, N., “Kekuatan Eksekutorial
Sertifikat Jaminan Fidusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia”, (Doctoral Dissertation, Sebelas
Maret University, 2017), 75.
[2]
Ibid.
[3]
Pebrianti, W., “Tinjauan Hukum atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia
Melalui Parate Eksekusi Apabila Objek Jaminan Beralih kepada Pihak
Ketiga atau Musnah”, Jurnal Supremasi Hukum, 21 (1) (2012), h. 84
-98.
[4]
Ahmad Miru dan Sakka Pati, “Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal
1233 Sampai 1456 BW” (Jakarta : Rajawali, 2013), 67.
[5] Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, “Bank dan Lembaga Keuangan Lain”, (Jakarta: Salemba Empat, 2006), 190.