Mengutip pendapat Bagir
Manan dan Ranggawidjaja (2013) yang menegaskan bahwa desa di masa
lalu merupakan komunitas sosial yang keberadaannya telah jauh ada sebelum
Indonesia merdeka (Bakarbessy, 2013).
Ini bersesuaian dengan pendapat Jamaludin yang
menyatakan bahwa cikal bakal terbentuknya masyarakat dan pemerintahan yang hari
ini disebut desa sudah ada sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Jamaludin, 2015).
Di Indonesia sendiri, terdapat 83.820 Desa
berdasarkan Data
Subdirektorat Pengembangan Pemetaan Statistik 1 termasuk kelurahan
dan Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Include Transmigration Settlement
Unit, Updating data dari 2019 Semester 1 ke 2019 Semester
2.
Desa-desa tersebutlah yang memberikan kontribusi dalam
perkembangan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia, maupun pemenuhan
kebutuhan pokok nasional.
Namun apa jadinya jika Pemerintahan yang tertua bahkan
dari Republik ini menjadi Lembaga yang paling Korup di antara lembaga atau
penyelenggara negara lain?
Melansir CNN
Indonesia, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW)
menyatakan anggaran dana desa merupakan dana yang paling rentan dikorupsi. Pada
semester I 2021, pemerintah desa menjadi lembaga pelaku kasus korupsi terbesar.
Peneliti ICW Lalola Easter menyebut pada periode
tersebut tercatat ada 62 kasus korupsi yang dilakukan Aparat Pemerintah Desa.
Lalu, diikuti oleh Pemerintah Kabupaten, dan Pemerintah Kota dengan
masing-masing 60 dan 17 kasus.
Angka yang enggan turun dari waktu ke waktu itu
membuatnya mendesak pemerintah untuk mereformasi birokrasi guna mencegah
korupsi.
Beberapa waktu lalu ada berita terkait penyalahgunaan
wewenang terhadap Pengelolaan Dana Desa yaitu mantan Kepala Desa Kuripan
Selatan, Kecamatan Empat Petulai Dangku. Eks Kades berinisial Yusman Efendi
dijadikan tersangka karena diduga menggelapkan
dana desa 2016 - 2021 untuk kepentingan pribadi sebesar Rp 500
juta.
Kemudian, ada 2
Mantan Kades di Muba Pakai Dana Desa untuk Bayar Utang Pilkades. Yang
mana pada tahun 2014 tersangka yang saat itu menjabat Kades Tanjung Keputran
mendapatkan alokasi dana desa sebesar Rp 854,61 juta.
Namun berdasarkan hasil audit dan penyelidikan
ditemukan bukti-bukti penggunaan anggaran tersebut untuk kegiatan fiktif dan
digunakan untuk membayar utang Pilkades.
Serta sudah banyak kasus lainnya dari tahun-tahun
sebelumnya terkait penyalahgunaan wewenang terhadap pengelolaan Dana Desa yang
berakhir harus jadi tersangka, tapi apa semuanya demikian?
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah mewacanakan pendekatan keadilan restoratif
pada kasus korupsi dana desa daripada
memidanakan para Kepala Desa yang melakukan penyalahgunaan dana desa. Wakil
Ketua KPK Alexander Marwata yang menyebut Kepala Desa bisa mengembalikan uang
yang dikorupsi tanpa diadili di persidangan melainkan dengan musyawarah
bersama.
Tapi apakah cara-cara seperti ini hanya sekadar wacana
atau sudah dapat diterapkan?
Penyalahgunaan Wewenang
Bicara soal penyalahgunaan wewenang menurut hukum itu
ada yang bersifat administrasi dan bersifat pidana. Jika bicara soal konsep
penyalahgunaan wewenang yang bersifat administrasi, setiap kewenangan atau
kekuasaan pemerintah, sebagaimana menurut ajaran Hukum Administrasi Negara,
dibatasi oleh adanya asas spesialitas (het specialiteitsbeginsel), asas
legalitas (wetmatigheid van bestuur/ legaliteit beginsel)
dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (algemene beginselen van
behoorlijk bestuur).
Sehingga apabila pemerintah atau aparatur negara
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas tersebut, maka perbuatan
itu merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de povouir)
(Arma Devi, 2019). Merujuk Pasal 17 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, badan
dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, larangan itu
meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang,
dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Kemudian, Pasal 20 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
pengawasan dan penyelidikan terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang terlebih
dahulu dilakukan oleh Aparat
Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) atau Pengawas Internal.
Terhadap hasil pemeriksaan dari APIP terhadap dugaan
penyalahgunaan wewenang berupa tidak terdapat kesalahan dalam
konteks pidana, namun kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara maka
terhadap tindakan penyelewengan yang dilakukan pejabat pemerintahan tidak
melulu dengan sanksi pidana melainkan dengan menggunakan sanksi administrasi.
(vide Pasal 20 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo. Pasal
33 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan)
Lantas terhadap Penyalahgunaan Wewenang atau Penyalahgunaan Dana Desa oleh Kepala Desa, Sanksi Administrasi atau Sanksi Pidana?
Jenis-jenis pengenaan sanksi administrasi itu dimulai
dari yang ringan, sedang, sampai berat dapat diberikan pada kasus penyelewengan
atau penyalahgunaan wewenang yang bersifat administrative oleh pejabat
pemerintahan. (vide Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat
Pemerintahan)
Bahwa terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Kepala desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa (khususnya), sanksi administrasi yang dikenakan
bagi kepala desa dibedakan dua jenis perbuatan antara lain:
1)
Sanksi
karena tidak melaksanakan kewajiban yang mana sanksi tersebut berupa teguran lisan dan/atau teguran
tertulis. (vide Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa) Kemudian, apabila sanksi administrative tidak
melaksanakan kewajiban yang dimaksud tidak dilaksanakan sebagaimana dalam
ketentuan Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka akan dilakukan
tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan
pemberhentian terhadap Kepala Desa tersebut. (vide Pasal
28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa)
2)
Sanksi
karena melanggar larangan yang
mana sanksi tersebut berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis (vide Pasal
30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa) dan sanksi
tersebut dapat dikenakan apabila kepala desa melanggar larangan sebagaimana
dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa), dilakukan
Tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.
Terkait dengan Pemberhentian sebagaimana yang dimaksud
itu karena beberapa alasan antara lain:
a)
meninggal dunia;
b)
permintaan
sendiri; atau
c)
diberhentikan.
Untuk Kepala Desa yang alasannya karena diberhentikan itu
ada beberapa alasannya lagi antara lain:
a.
karena berakhir
masa jabatannya;
b.
tidak dapat
melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara
berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon
Kepala Desa; atau
c.
melanggar
larangan sebagai Kepala Desa,
dan dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila Kepala Desa berhenti Badan Permusyawaratan
Desa melaporkan kepada bupati.Kemudian, Pemberhentian kepala Desa tersebut pada
ditetapkan dengan Keputusan Bupati berupa Surat Keputusan Bupati. (vide Pasal
40 Undang-Undang tentang Desa jo. Pasal 54
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa)
Bahwa perlu selalu diingat bahwa tetap dalam hal
terjadi kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara
dengan adanya unsur penyalahgunaan wewenang, Kepala Desa berkewajiban melakukan
pengembalian uang ke kas negara/ daerah. Cenderung aturan seperti ini ada
ditingkat Kabupaten berupa Peraturan Daerah, atau Peraturan Bupati, entah
berdasarkan Peraturan Gubernur yang kemudian nanti menjadi acuan bagi Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kabupaten setempat untuk
melaksanakan amanat peraturan. (vide Pasal 34 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif kepada Pejabat Pemerintahan
Mendahulukan Upaya Administrasi
Bicara dalam lingkup Pemerintahan Desa,
sebagaimana Pasal 1 Angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84
Tahun 2015 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa,
menyebutkan Pengertian dari Kepala Desa atau sebutan lain adalah pejabat
Pemerintah Desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk
menyelenggarakan rumah tangga Desanya dan melaksanakan tugas dari Pemerintah
dan Pemerintah Daerah.
Artinya jika terjadi Penyalahgunaan Wewenangan yang
mana itu bersifat administrasi APIP lah yang dapat terlebih dahulu mengambil
langkah administrasi tersebut. Dalam konteks Dugaan penyalahgunaan Dana Desa
juga ini bersesuaian dengan adanya Surat
Telegram Polri Nomor ST/3388/XII/HUM.3.4./2019, tertanggal 31 Desember
2019 yang ditandatangani oleh Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo yang kini
menjadi Kapolri, ditujukan untuk seluruh Kapolda dan Kapolres kala itu,
semata-mata sebagai upaya Polri sebagai Aparah Penegak Hukum (APH) menghargai
tupoksi dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan mengedepankan
upaya koordinatif sesuai MoU dan perjanjian kerja sama yang diteken bersama.
Dalam Penggunaan Dana Desa (DD), Alokasi Dana Desa
(ADD) oleh Oknum Kepala Desa yang diduga menyalahgunaan Dana Desa (DD) dapat
saja dilaporkan ke Polres setempat atau Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat
namun perlu diingat tidak serta merta dapat langsung diterima aduan atau
pelaporan terkait pidananya. Karena APIP di sini yaitu Inspektorat Kabupaten
atau Inspektorat Provinsi akan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dengan
lingkup kewenangannya seperti melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan
pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi
pemerintahan.
Perlu diketahui, pada tahun-tahun sebelumnya, audit
dana desa dilakukan oleh Inspektorat Kabupaten/Kota. Inspektorat Provinsi hanya
melakukan supervisi dan pembinaan soal pengelolaan Dana Desa melalui
Inspektorat Kabupaten/Kota.
Namun setelah keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Inspektorat Provinsi
yaitu selaku APIP di sini dapat melakukan permintaan audit khusus dari Aparat
Penegak Hukum (APH) mengenai dugaan penyalahgunaan dana desa di setiap daerah
Provinsi.
Jadi kalau adanya dugaan potensi kerugian negara di
desa, tidak melulu harus melalui Inspektorat Kabupaten/Kota, Inspektorat
Provinsi bisa langsung turun. Itu bisa saja atas laporan dari kabupaten/kota,
dari masyarakat kalau disampaikan ke Inspektorat Provinsi yang biasanya melalui
Aparat Penegak Hukum (APH).
Lalu Bagaimana Soal Dugaan Tindak Pidana Korupsinya?
Sedangkan dalam konteks Sanksi dalam Hukum Pidana,
mengutip Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/Pid.Sus/2017 tertanggal
6 September 2017 dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menyatakan
bahwa sifat melawan hukum (wederechtelijk) secara khusus
yang dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor yang berupa penyalahgunaan
wewenang (machtsmisbruik) kesempatan atau sarana yang ada
padanya tidak didasarkan pada konsep perbuatan aktif dan perbuatan
pasif. Perbedaan sifat melawan hukum dalam Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Tipikor tersebut menurut politik hukum pembentuk
Undang-Undang Tipikor terletak pada subyek hukumnya,
yaitu melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang (machtsmisbruik ten
bate van persoonljke belangen), kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan adalah untuk subyek hukum pegawai
negeri dan pejabat negara, sedangkan melawan hukum secara umum
yang dirumuskan dalam Pasal 2 adalah untuk selain pegawai
negeri dan pejabat negara.
Namun karena konsep tersebut mengandung cacat yuridis
karena kedudukan sebagai pegawai negeri dan pejabat
negara yang seharusnya menjadi alasan pemberatan pidana justru
sebagai alasan memperingan pidana, sehingga Dalam Kaidah Hukumnya Mahkamah
Agung membedakan antara Pasal 2 dan Pasal 3
Undang-Undang tentang Tipikor dari segi memperkaya diri atau
menguntungkan dan/atau besar kecilnya kerugian negara.
Mengingat juga bahwa Kepala Desa di sini unik masuk
dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor, dan tidak dapat dikenakan Pasal 3, karena
Kepala Desa bukan Pegawai Negeri terlebih Pejabat Negara, walau Kepala Desa
berdasarkan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, merupakan bagian
dari Pejabat Pemerintahan yang berada di bawah Politik Hukum daerah dalam hal
ini Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati secara administrasi.
Kemudian, Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 864 K/Pid.Sus/2016 tanggal 19 Juli
2016 yang menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum mencakup perbuatan
hukum secara formil maupun materiil yakni meskipun tidak diatur dalam
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma yang hidup dalam masyarakat maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.
Hal ini bertujuan guna menjangkau berbagai modus
operandi penyimpangan keuangan Negara atau perekonomian Negara yang meliputi
memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, kemudian dengan adanya
Laporan Hasil Audit BPKP sebesar Rp.204.606.046,59 (dua ratus empat juta
enam ratus enam ribu empat puluh enam rupiah lima puluh sembilan sen) dari
pengelolaan Dana Desa yang bersumber dari ADD.
Pertimbangan Hukum dari Mahkamah adalah dimana
Terdakwa selaku Kepala Desa dan selaku Pengguna Anggaran dalam pelaksanaan
program pembangunan Desa, dengan bekerja-sama dengan pihak Iainnya telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melaksanakan program pembangunan di
Desa secara fiktif, dan uang yang ditarik dari rekening Desa yaitu dana ADD
dipergunakan oleh Terdakwa untuk kepentingan pribadi dan penggunaannya tidak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2007 tentang Desa dan Peraturan Desa yang
dibuat setiap tahun sebagai pedoman penggunaan keuangan desa baik yang
bersumber dari PADesa maupun dari ADD yang diterima dari Kabupaten, dan itu
sudah cukup menjadi Pertimbangan Hakim Agung memutuskan Terdakwa selaku
secara sah dan meyakinkan melakukan Tindak Pidana Korupsi.
Catatan lainnya, dalam memaknai tindak pidana korupsi
seharusnya memperhatikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri/korporasi
terlebih dahulu, baru kemudian melihat adakah unsur perbuatan melawan hukum
jika mengacu pada Putusan
Mahkamah Agung Nomor 69 K/Pid.Sus/2013 tanggal 19 Maret 2013
menyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP maka Jaksa tidak dapat
membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan tersebut memberi
kesan bahwa audit BPK atau BPKP mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian
keuangan negara.
Untuk Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
sendiri dapat dilihat berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah,
bahwa BPKP juga melakukan pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan
fungsi Instansi Pemerintah, termasuk akuntabilitas keuangan Negara dan
pembinaan penyelenggaraan SPIP satu di antaranya tugasnya adalah melaksanakan
audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap
perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban akuntabilitas penerimaan dan
pengeluaran keuangan negara/daerah serta pembangunan nasional, yang seluruh
atau sebagian keuangannya dibiayai oleh anggaran negara/daerah tidak terlepas
dari Dana Desa (DD) yang juga bersumber dari APBN, kemudian, melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan, BPKP mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan
nasional.
Akan tetapi dalam konteks “korupsi dan penentuan
kerugian negara”, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penentuan Kerugian Negara, yang
menyebutkan pada intinya Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya
kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP)/Inspektorat/ Satuan kerja Perangkat
Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan
Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya
kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta
persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian Negara.
Bagaimana Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam hal Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Desa?
Kepala Desa melakukan pidana korupsi, apakah menjadi
wewenang KPK kalau masyarakat sekiranya melaporkan melalui Whistleblowing
System KPK?
Jika berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, menyebutkan bahwa
Penyelenggara Negara yang menjadi kewenangan KPK meliputi: Pejabat Negara
Lembaga Tinggi Negara seperti Presiden dan Wakil Presiden, Anggota MPR RI, DPR
RI dan DPD RI, Menteri, Gubernur, Hakim, Jaksa, Pejabat negara yang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pejabat lain
yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apa artinya Kepala Desa termasuk?
Jika berdasarkan Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 700/1705/SJ tentang Penguatan Pengawasan Dana
Desa Tahun 2020 sebagai tindak lanjut dari Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan
kepada Bupati/Walikota untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap desa
yang mana kewenangan masuk dalam ranah Administrasi Negara dengan adanya peran
penting Inspektur (Inspektorat) dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam ranah
hukum pidananya dan bukan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan pada tahun 2017 mantan Ketua KPK Agus Rahardjo
pernah mengatakan adanya berbagai aturan yang membatasi wewenang KPK membuat
komisi antirasuah itu tidak bisa mengusut banyak kasus yang melibatkan PNS,
satu di antaranya contoh saat timnya mendapati dugaan kasus kepala sekolah yang
menyuap Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
Kalau hanya PNS biasa, itu enggak masuk kewenangan
KPK. Termasuk kasus kepala dinas pendidikan itu bukan penyelenggara negara.
Termasuk Direktur Perusahaan Swasta, Lurah, Camat, dan pejabat sipil lainnya.
Kecuali, Pejabat Struktural BUMN/BUMD, Duta Besar,
Pimpinan atau Bendaharawan Proyek, Pimpinan Perguruan Tinggi, Pimpinan BI dan
BPPN, penyidik, dan lain sebagainya memang merupakan kewenangan KPK.
Lalu, jika bukan wewenang KPK apa tindaklanjut
pengaduan masyarakat yang sudah terlanjur melaporkan ke KPK mengenai kewenangan
pejabat selain KPK?
Berdasarkan Pasal 6 huruf a dan b
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai
tugas: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Seperti kepada Kepolisian dan Kejaksaan.
Pengaduan masyarakat tadi yang belum dapat
ditindaklanjuti oleh Bidang Penindakan KPK, dokumen yang sudah dikirim akan
menjadi bahan informasi bagi Bidang Pencegahan KPK untuk ke depannya.
Dugaan Tindak Pidana Korupsi Dana Desa (DD) yang
dilakukan oleh para pihak terkait ini memang masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR)
yang Panjang mengingat fenomena di lapangannya yang kerap terjadi masih sulit
tersentuhnya dan proses pidana yang lama bahkan bertahun-tahun untuk menetapkan
seorang Kepala Desa sebagai tersangka. Mengingat dalam beberapa kesempatan,
Kepala Desa yang merupakan unsur pelaksana dari Pemerintah Daerah seperti
Kabupaten, masyarakat dalam hal yang melakukan aduan atau laporan harus melalui
Inspektorat Kabupaten terlebih dahulu apakah nanti sifatnya masuk dalam ranah
Hukum Administrasi atau Hukum Pidana yang domainnya adalah Aparat Penegak Hukum
(APH) baik kepolisian atau kejaksaan. Penguatan dan perlindungan bagi para
pelapor yang berani bicara juga perlu penguatan. Sekian.
Kutipan Buku/Jurnal:
- Bakarbessy, D.A.,
“Kajian Yuridis Terhadap Kedudukan Desa Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia”, (Maluku; Jurnal Fakultas Hukum Universitas Pattimura 2013)
- Dr. R. Widodo
Triputro, “Regulasi Desa”, (Yogyakarta; Deepublish CV Budi Utama, 2019)
- Jamaludin, A. N.,
“Sosiologi Perdesaan”, In Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9), 2015)
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.