Ilutrasi Investasi Bodong (Foto: MNC Media) |
Pengantar
Delapan orang yang diduga menjadi korban penipuan
investasi emas oleh seseorang bernama Budi Hermanto mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Rabu (16/3/2022).
Budi diketahui merupakan pemilik toko emas yang
berlokasi di Serpong, Tangerang Selatan. Ia diduga tidak mengembalikan uang
investasi yang telah digelontorkan delapan orang tersebut.
Gugatan diajukan oleh pendamping hukum kedelapan orang
itu sekaligus eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rasamala
Aritonang.
Budi sendiri sudah ditetapkan sebagai terdakwa kasus
penipuan dan sudah diputus, sebagaimana dengan adanya Putusan
Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1907/Pid.B/2021/PN Tng, tanggal 20
Juli 2022.
Rasamala dan tim menyampaikan gugatannya saat sidang
berlangsun, dan diizinkan oleh ketua majelis hakim Fathul Mujid.
Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang
dalam Perkara Nomor 1907/Pid.B/2021/PN.Tng mengabulkan
permohonan kuasa hukum korban yang diajukan VISI LAW OFFICE untuk melakukan
sita jaminan 20 (dua puluh) kilogram emas yang pernah dialihkan terdakwa
Budi Hermanto pada pihak lain. Disebutkan juga aset tersebut belum sempat
disita oleh penegak hukum sebelumnya.
Hal tersebut dituangkan dalam penetapan yang dibacakan oleh majelis hakim yang pada pokoknya:
1.
Mengabulkan
permohonan para korban untuk menyita aset berupa 20 (dua puluh) kg emas yang
pernah dipindahtangankan ke pihak Ali Boy yang terletak di 3 (tiga) toko emas
yang berlokasi di Blok M;
2.
Memerintahkan
penuntut umum untuk melakukan penyitaan karena meskipun penyitaan diajukan
penggugat namun proses persidangan berjalan dalam proses pidana.
Pada permohonan sita jaminan, VISI LAW OFFICE menggunakan dasar Pasal 227 HIR disertai sejumlah dalil, sebagai berikut:
1.
Pasal 1131
KUHPerdata, yang mengatur:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan
debitur itu.”;
2.
Dalil Actio
Pauliana yang mengacu pada Pasal 1341 KUHPerdata;
3.
Kewajiban
tergugat untuk tidak membeda-bedakan korban karena tidak ada hak istimewa yang
dimiliki pihak yang menerima pemindahtanganan emas oleh terdakwa sebelumnya.
Lihat tangkapan layar di bawah Pasal 98 KUHAP:
Tangkapan Layar Pasal 98 KUHAP |
Tangkapan Layar Pasal 99 ayat (1) KUHAP |
Tangkapan Layar Pasal 99 ayat (3) KUHAP |
Tangkapan Layar Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP |
Tata Permintaan Ganti Kerugian untuk Korban Tindak Pidana
Seperti kita ketahui adalah Ganti Rugi untuk korban Tindak Pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu:
1.
Melalui
Penggabungan Perkara Ganti Kerugian;
2.
Melalui Gugatan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH); dan
3.
Melalui
Permohonan Restitusi.
Penggabungan Perkara Ganti Kerugian
Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri
diatur dalam Bab XIII Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal
101 KUHAP.
Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa:
Kemudian Pasal 98 ayat (2) KUHAP menjelaskan
bahwa untuk permohonan penggabungan perkara ganti kerugian diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal
penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.
Ini bersesuaian dengan Catatan Dalam Varia Peradilan Nomor 107.Tahun. IX . Agustus.1994. Halaman.45–46 sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor: 213/Pidana B/1990/PN-Trt tertanggal 20 November 1990, Kemudian Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 30/Pid/B/1991/PT.Mdn, tertanggal 22 Maret 1991, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1457 K/Pid/1991 tertanggal 28 Agustus 1993 tentang “Salah Menerapkan Hukum Gabungan Pidana Dan Ganti Rugi”, yang menyatakan dalam “ABSTRAK HUKUM”nya sebagai berikut:
1.
Bahwa Saksi
korban akibat penganiayaan yang dilakukan oleh para Terdakwa, telah mengajukan
secara lisan di persidangan permohonan penggabungan ganti rugi kepada perkara
Pidana yang sedang diperiksa para Terdakwa;
2.
Bahwa Hakim
Pertama berpendirian berwenang mengadili dan memutus permohonan penggabungan
ganti rugi tersebut; dengan mengabulkan tuntutan ganti rugi dari saksi korban
dan putusan ini dikuatkan oleh Hakim Banding;
3.
Bahwa ternyata
dalam berita acara persidangan tingkat pertama oleh Mahkamah Agung RI
dinyatakan tidak terdapat catatan bahwa saksi korban mengajukan permohonan
ganti rugi, sehingga tidak dapat ditentukan saat diajukan permohonan
penggabungan perkara ganti rugi tersebut pada perkara pidana; Apakah sebelum
atau sesudah Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana;
4.
Bahwa berdasarkan
Pasal 98 ayat (2) KUHAP, permintaan penggabungan tersebut hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana;
5.
Bahwa berdasarkan
Pasal 98 KUHAP, permintaan penggabungan tersebut hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana. 6.
Mahkamah Agung RI menilai Judex facti salah menafsirkan/menerapkan hukum
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 98 ayat (2) KUHAP, oleh karena itu gugatan
ganti rugi harus di nyatakan tidak dapat diterima.
Pada saat korban Tindak Pidana meminta penggabungan perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (vide Pasal 99 ayat (1) KUHAP).
Pada saat korban Tindak Pidana meminta penggabungan
perkara ganti kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya
untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban (vide Pasal
99 ayat (1) KUHAP).
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap (vide Pasal 99 ayat (3) KUHAP).
Selain yang di atas juga terdapat dalam catatan Varia
Peradilan Nomor 80. Tahun VII. Mei 1992. Hlm. 47. sebagaimana Pengadilan
Negeri di Manado Nomor 177/1986/S/PN.Mdn, tertanggal: 10 Juli 1986 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara di Manado Nomor 82/Pid/1986/PT.Mdn, tertanggal
: 11 Juli 1987, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
976.K/Pid/1988, tertanggal : 24 September 1991 tentang “Satu
Paket Pemeriksaan Pidana dan Perdata”, yang dalam catatannya menyebutkan
bahwa:
Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut diatas dapat diangkat sesuatu “Abstrak Hukum” sebagai berikut:
1.
Bahwa untuk dapat
menggabungkan gugatan ganti rugi uang dengan pemeriksaan perkara pidana yang
sedang ditangani oleh Hakim Pidana dalam satu paket pemeriksaan sebagaimana
yang dimaksud Ex Pasal 98 KUHAP, maka Hakim wajib dan harus memperhatikan
syarat yang ditentukan dalam Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, yaitu bahwa
gugatan ganti rugi uang yang dituntut oleh saksi korban tersebut adalah
merupakan uang penggantian Beaya yang telah dikeluarkan oleh pihak saksi korban
yang dirugikan. Tuntutan /gugatan ganti rugi selain itu, tidak diperkenankan
diperiksa melalui jalur Pasal 98 KUHAP.
2.
Demikian catatan
atas kasus ini.
Begitu juga apabila Putusan terhadap perkara pidana
diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan mengalami hal yang sama
(vide Pasal 100 ayat (1) KUHAP). Namun, apabila
perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan
ganti rugi tidak diperkenankan banding (vide Pasal 100 ayat
(2) KUHAP).
Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti
kerugian ini berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan
mekanisme yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.
Gugatan Perdata Melalui PMH
Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan
Perdata biasa dengan model Gugatan Perbuatan Melawan
Hukum (PMH). Akan tetapi, biasanya dalam gugatan ini, Penggugat, dalam
hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan
yang telah memutus perkara pidana (in kracht van gewijsde) yang
dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).
Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu
mengajukan permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana
yang sudah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, jo. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, dan Peraturan
LPSK Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan
Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7A
ayat (1), Tindak Pidana yang dimaksud juga berdasarkan Pasal
7A ayat (2) ditetapkan oleh Keputusan LPSK. Selain itu Pengajuan
Permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui
LPSK. (vide Pasal 7A ayat (3))
Untuk permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan
Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
Permohonan Restitusi Dalam Perkara Pidana
Sedangkan, permohonan Restitusi diajukan setelah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat
mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
Ini bersesuaian dengan Pasal 21 Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan
Bantuan Kepada Saksi dan Korban yaitu permohonan Restitusi ini
dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Perlu diketahui bahwa Permohonan Restitusi tersebut
diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup dalam bahasa Indonesia oleh
Korban, Keluarganya atau Kuasanya bahkan oleh ahli warisnya kepada Pengadilan
melalui LPSK.
Permohonan restitusi kepada pengadilan selain diajukan
melalui LPSK, penyidik, atau penuntut umum, dapat juga diajukan oleh Korban
sebelum atau setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Perma
Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian
Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Terbitnya Perma ini dilandasi tersebarnya pengaturan restitusi di beberapa peraturan yang berdampak pada ketidakseragaman dalam penerapannya. Perma ini ditandatangani pada 25 Februari 2022 oleh Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin ini dan resmi diundangkan pada 1 Maret 2022.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.