layananhukum

Begini Aturan Kredit Bank Perkreditan Rakyat yang Wajib Anda Ketahui

Ilustrasi Perbankan. Sumber: Pexels.com/stevepb

Masih banyak masyarakat mungkin belum memahami dengan baik terkait dengan apa itu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bagaimana pengaturannya secara hukum mengenai kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?

Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau kita sebut dengan Undang-Undang tentang Perbankan dibagi beberapa jenis bank yang disesuaikan dengan bidang usahanya, kepemilikan, dan dari segi operasionalnya sebagai berikut:

1.        Bank dari segi usahanya dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu antara lain: Bank UmumBank Perkreditan Rakyat (BPR) (vide Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang Perbankan), Bank Khusus (vide Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang tentang Perbankan).

2.       Bank dari segi kepemilikan yaitu Bank Milik Negara dan Bank Milik Swasta.

3.      Bank dari segi operasional yaitu Bank Devisa dan Bank Non-Devisa.

Apa itu Bank Perkreditan Rakyat (BPR)?

Undang-Undang tentang Perbankaan sebelumnya memberi nama Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang tentang Perbankan yaitu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (vide Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang tentang Perbankan), namun istilah “Bank Pekreditan Rakyat” itu sudah berubah yang saat ini nomenklaturnya adalah Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung. (vide Pasal 14 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan selanjutnya disebut dengan UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan)

Ini bersesuai dengan Pasal 1 Angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah atau yang kita sebut dengan POJK Nomor 7/2024 yang memberikan definisi Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.

Siapa yang Dapat mendirikan BPR?

BPR didirikan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia. (vide Pasal 3 ayat (1) POJK Nomor 7/2024) Dalam hal badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud diajukan sebagai calon PSP atau Pemegang Saham Pengendali yaitu badan hukum yang memiliki saham perusahaan atau BPR sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara, atau memiliki saham perusahaan atau BPR kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau BPR, baik secara langsung maupun tidak langsung, badan hukum dimaksud harus telah beroperasi dalam jangka waktu sesuai dengan Peraturan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. (vide Pasal 3 ayat (2) POJK Nomor 7/2024) Berdasarkan pertimbangan tertentu, OJK dapat menetapkan jangka waktu operasional badan hukum yang berbeda sebagaimana dimaksud tersebut. (vide Pasal 3 ayat (3) POJK Nomor 7/2024)

Badan hukum yang dimaksud di sini adalah Perseroan Terbatas atau Koperasi. (vide Pasal 4 POJK Nomor 7/2024) BPR harus memiliki anggaran dasar yang memenuhi persyaratan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan memuat pernyataan bahwa:

a.       penambahan modal disetor dan perubahan kepemilikan saham yang mengakibatkan perubahan PSP;

b.      pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris; dan

c.       pengangkatan anggota DPS, bagi BPR Syariah, berlaku setelah memperoleh persetujuan dari OJK. (vide Pasal 5 POJK Nomor 7/2024)

Berapa Modal BPR yang Disetor?

Modal disetor pendirian BPR sebagaimana dimaksud paling sedikit:

a.       Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 1;

b.      Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 2; dan

c.       Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), bagi BPR yang didirikan di zona 3. (vide Pasal 6 ayat (1) POJK Nomor 7/2024)

Disebutkan juga bahwa berdasarkan pertimbangan tertentu, OJK berwenang menetapkan jumlah modal disetor pendirian BPR yang lebih tinggi daripada jumlah modal disetor sebagaimana dimaksud tersebut di atas. (vide Pasal 6 ayat (2) POJK Nomor 7/2024) Modal disetor pendirian sebagaimana dimaksud wajib digunakan untuk modal kerja paling sedikit 50% (lima puluh persen). Pembagian zona sebagaimana dimaksud ditentukan berdasarkan potensi ekonomi dan tingkat persaingan lembaga jasa keuangan di wilayah provinsi tersebut. Daftar wilayah dan modal disetor pendirian BPR berdasarkan zona tercantum dalam Lampiran Bagian A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.

Berikut pembagian zona-zona sebagaimana yang dimaksud:

Bidang Usaha Bank Perekonomian Rakyat (BPR)

Dalam melaksanakan Kegiatan Usaha Bank Perekonomian Rakyat (BPR) meliputi:

a.       menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan dan Deposito berjangka dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;

b.      menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;

c.       melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah;

d.      menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain;

e.       melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing;

f.        melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan;

g.      melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sarna dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah;

h.      melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan/atau

i.        melakukan kegiatan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (vide Pasal 14 Angka 9 UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU tentang Perbankan)

Kemudian, Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dilarang:

a.       menerima Simpanan berupa Giro;

b.      melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali kegiatan usaha penukaran valuta asing;

c.       melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f;

d.      membeli Surat Berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, atau Pemerintah Daerah;

e.       melakukan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf g; dan

f.        melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (Pasal 14 Angka 9 UU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan sebagaimana telah mengubah ketentuan Pasal 14 UU tentang Perbankan)

Selain itu ada beberapa bidang usaha yang juga diatur sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 6 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat atau yang kita sebut dengan PBI Nomor 8/26/PBI 2006, yang mengatur terkait dengan Kegiatan Kas di Luar Kantor yaitu kegiatan pelayanan kas kepada masyarakat, antara lainnya:

A.      Kas Mobil atau Kas Terapung yaitu kegiatan kas dengan menggunakan alat transportasi darat atau air;

B.      Payment Point yaitu kegiatan pelayanan pembayaran melalui kerjasama antara BPR dan pihak lain;

C.      Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yaitu kegiatan kas yang dilakukan dengan menggunakan peralatan elektronik untuk memudahkan nasabah melakukan transaksi perbankan antara lain penarikan tunai, pemindah bukuan, dan memperoleh informasi mengenai saldo atau mutasi rekening nasabah.

Produk dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Produk dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagaimana yang sudah disebutkan di atas tadi antara lain:

1.        Tabungan;

2.       Deposito;

3.      Pemberian Kredit.

Yang dimaksudkan dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. (vide Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang tentang Perbankan)

Yang dimaksud dengan deposito adalah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Nasabah Penyimpan dengan bank. (vide Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Perbankan)

Sedangkan pengertian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. (vide Pasal 1 Angka 11 Angka 7 Undang-Undang tentang Perbankan)

Kemudian pengertian kredit itu secara spesifik diatur dalam Pasal 1 angka 4 POJK Nomor 49/POJK.3/2017, yang menyebutkan bahwa

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.”

Sedangkan, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset Bank Perekonomian Rakyat atau yang selanjutnya disebut dengan “POJK/1/2024”, menyebutkan:

“Kredit adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk pengalihan piutang.”

Jenis-Jenis Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Pada umumnya kredit dalam suatu produk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diberikan kepada masyarakat untuk keperluan antara lain:

1.        Kredit Investasi;

2.       Kredit Modal Kerja; dan

3.      Kredit Konsumtif. (vide Tabel Asumsi Keuangan dalam Perhitungan Keuangan Lampiran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2020 tentang Bank Perkreditan Rakyat atau kita sebut dengan POJK Nomor 62/POJK.03/2020)

Keluarannya untuk menghitung rata-rata suku bunga kredit atau pinjaman per tahun.

Kemudian sebagaimana Pasal 1 Angka 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/39/KEP/DIR/1998 tentang Kredit Modal Kerja Bank Indonesia dalam Rangka Pengembangan BPR atau yang kita sebut dengan SK DBI Nomor 31/39/KEP/DIR/1998, menyebutkan:

“Kredit Modal Kerja Bank Indonesia dalam rangka pengembangan BPR, yang selanjutnya disebut KMK-BPR, adalah kredit modal kerja yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada BPR dalam rangka membantu pendanaan BPR agar mampu memberikan kredit kepada usaha kecil.”

Kredit Modal Kerja (KMK) yaitu Kredit jangka pendek yang diberikan untuk membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahaan (baik perseorangan atau berbadan usaha yang berbadan hukum atau pun non-badan hukum), karakter yang melekat pada jenis kredit ini adalah:

Umumnya berjangka pendek dan musiman, kecuali Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang membutuhkan waktu realtif Panjang (vide Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/38/UPK tertanggal 14 Desember 1973 jo. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/1/UKK tertanggal 29 Januari 1990)

a.       Kredit ini pada umumnya disediakan dalam bentuk pinjaman rekening koran.

b.      Kebutuhan Modal dihitung atas dasar perputaran usaha (sirklus produksi).

c.       Jaminan yang ditekankan pada benda yang mudah untuk dieksekusi.

d.      Persyaratan bagi Kredit yang jatuh tempo dinegosiasikan sedemikian rupa dengan memperhatikan perkembangan usaha dari debitur sebab modal usaha itu dipergunakan untuk berusaha jangan sampai penarikan total kredit tersebut mematikan usaha yang bersangkutan.

Kredit Investasi (KI) yaitu kredit jangka menengah dan jangka Panjang dalam rangka membiayai pengadaan aktiva tetap dalam suatu kegiatan perusahaan dengan ciri-ciri:

a.       Berjangka waktu menengah atau Panjang;

b.      Kredit ini pada umumnya disediakan dalam bentuk pinjaman tetap atau fixed loan atau dikenal juga dengan Pinjaman Jangka Panjang (PJP), atau Kredit Investasi (KI);

c.       Kebutuhan kredit memperhitungkan kemampuan debitur menyediakan biayanya sendiri;

d.      Penetapan jangka waktu umumnya disesuaikan dengan jadwal dimulainya untuk mengangsur pinjaman pokok atau bunga.

Kredit Konsumsi merupakan kredit yang diberikan untuk memperoleh barang atau jasa guna memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier.

Kredit Konsumsi merupakan porsi kredit yang paling umum dan banyak dipergunakan oleh Debitur karena sifatnya yang penting dan mempunyai nilai tambah sehingga Debitur dapat memperoleh kebutuhan tersebut dengan segera secara di angsur sehingga tidak harus menunggu hingga dananya ada terlebih dahulu sehingga Debitur dapat mengatur pengeluaran untuk keperluan lainnya.

Adapun contoh jenis kredit konsumsi yaitu pembelian kendaraan bermotor, pembelian alat elektronik, pembelian perabotan, biaya pendidikan, biaya perkawinan, biaya pengobatan dan sebagainya.

Kemudian pada Pasal 2 POJK Nomor 49/POJK.3/2017 jo. Pasal 2 ayat (1) POJK Nomor 33/POJK.3/2018, menyebutkan:

Pasal 2 POJK Nomor 49/POJK.3/2017:

“BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat perjanjian Kredit antara BPR dan Peminjam yang mencantumkan Penyediaan Dana.”

Pasal 2 ayat (1) POJK/1/2024:

“BPR wajib mengelola Aset berdasarkan prinsip kehati-hatian.”

Yang dimaksud dengan Peminjam di sini adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari BPR berupa Kredit. (vide Pasal 1 Angka 11 POJK Nomor 49/POJK.3/2017)

Penggolongan Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Kemudian terkait penggolongan kredit berdasarkan kolektibilitasnya atau kualitas aset produktif sebagaimana Pasal 6 ayat (1) POJK Nomor 33/POJK.03/2018, menyatakan BPR wajib menetapkan kualitas Aset Produktif dalam bentuk Kredit yang sama terhadap beberapa rekening Kredit:

1.        Yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) Debitur atau 1 (satu) proyek atau usaha yang sama pada BPR yang sama; dan/atau

2.       Yang diberikan oleh lebih dari 1 (satu) BPR secara bersama-sama yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) Debitur atau 1 (satu) proyek atau usaha yang sama berdasarkan perjanjian Kredit bersama.

Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a POJK Nomor 33/POJK.03/2018, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “proyek atau usaha yang sama” termasuk proyek atau usaha yang menjadi sumber pembayaran pokok dan/atau bunga yang sama.

Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aset Produktif dalam bentuk Kredit BPR wajib menetapkan kualitas masing-masing Kredit mengikuti kualitas Kredit yang paling rendah. (vide Pasal 6 ayat (2) huruf a POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Contohnya:

BPR B memberikan fasilitas Kredit investasi dan Kredit modal kerja kepada Debitur A. Hasil penilaian yang dilakukan BPR B untuk masing-masing fasilitas tersebut adalah sebagai berikut:

1.        Lancar, untuk Kredit investasi; dan

2.       Kurang lancar, untuk Kredit modal kerja.

Mengingat kedua Kredit dimaksud digunakan untuk membiayai 1 (satu) Debitur yang sama, kualitas Aset Produktif yang ditetapkan BPR B untuk Kredit yang diberikan kepada Debitur A mengikuti kualitas Aset Produktif yang lebih rendah, yaitu kurang lancar. (vide Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf a POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Perlu diketahui bahwa Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Kredit yang diberikan oleh setiap BPR kepada 1 (satu) Debitur atau 1 (satu) proyek atau usaha dengan jumlah paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dinilai berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga. (vide Pasal 7 ayat (1) POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Kredit yang diberikan oleh setiap BPR kepada 1 (satu) Debitur atau 1 (satu) proyek atau usaha dengan jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dinilai berdasarkan faktor penilaian:

1.        Prospek usaha;

2.       Kinerja Debitur; dan

3.      Kemampuan Membayar. (vide Pasal 7 ayat (2) POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Penilaian terhadap Prospek Usaha meliputi penilaian terhadap komponen:

1.        Potensi pertumbuhan usaha;

2.       Kondisi pasar dan posisi Debitur dalam persaingan;

3.      Kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;

4.       Dukungan dari pemilik, grup, atau afiliasi; dan

5.       Upaya yang dilakukan Debitur untuk memelihara lingkungan hidup. (vide Pasal 8 ayat (1) POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Penilaian terhadap Kinerja Debitur meliputi: (vide Pasal 8 ayat (2) POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

1.        Penilaian terhadap komponen;

2.       Perolehan laba;

3.      Kondisi permodalan; dan

4.       Arus kas.

Penilaian terhadap Kemampuan Membayar meliputi penilaian terhadap komponen: (vide Pasal 8 ayat (3) POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

a.       Ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga;

b.      Ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan Debitur;

c.       Kelengkapan dokumentasi Kredit;

d.      Kepatuhan terhadap perjanjian Kredit;

e.       Kesesuaian penggunaan dana; dan

f.        Kewajaran sumber pembayaran kewajiban.

Barulah dari rangkaian di atas itu berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Kualitas Aset Produktif dalam bentuk Kredit ditetapkan menjadi:

1.        Lancar;

2.       Dalam perhatian khusus;

3.      Kurang lancer;

4.       Diragukan;

5.       Macet. (vide Pasal 11 POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

Aset Produktif yang dimaksudkan di sini adalah penyediaan dana BPR dalam mata uang rupiah untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, sertifikat Bank Indonesia, dan penempatan pada bank lain. (vide Pasal 1 Angka 2 POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

Perlu diketahui, bahwa BPR wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aset Produktif (PPAP) berupa Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Umum (PPAP umum) dan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Khusus (PPAP khusus) untuk masing-masing Aset Produktif. (vide Pasal 16 ayat (1) POJK Nomor 33/POJK.3/2018).

Untuk apa itu dilakukan?

Penyisihan Penghapusan Aset Produktif atau yang selanjutnya disingkat PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan kualitas Aset Produktif. (vide Pasal 1 Angka 6 POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

PPAP umum ditetapkan paling sedikit sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari Aset Produktif yang memiliki kualitas lancar. (vide Pasal 16 ayat (2) POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

PPAP Khusus ditetapkan paling sedikit sebesar antara lain:

A.      3% (tiga persen) dari Aset Produktif dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi dengan nilai agunan;

B.      10% (sepuluh persen) dari Aset Produktif dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan;

C.      50% (lima puluh persen) dari Aset Produktif dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan; dan/atau

D.     100% (seratus persen) dari Aset Produktif dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan. (vide Pasal 16 ayat (3) POJK Nomor 33/POJK.3/2018).

Jaminan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

1.        Jaminan Perseorangan (persoonlijke zekerheid) contohnya seperti melalui Jaminan Perbankan seperti Bilyet Deposito (vide Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata);

2.       Jaminan Kebendaan melalui:

1)       Hak Tanggungan (vide Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah atau yang disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan);

2)      Jaminan Fidusia (vide Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang tentang Jaminan Fidusia atau yang disebut dengan Undang-Undang Jaminan Fidusia);

Oleh karena suatu Jaminan Kebendaan yang sudah disepakati oleh Debitur (nasabah) dan Kreditur (BPR), BPR dapat mengambil alih agunan untuk penyelesaian Kredit yang memiliki kualitas macet.

Pengambialihan itu disebut juga Agunan yang Diambil Alih (AYDA), Agunan yang Diambil Alih (AYDA) adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam hal Debitur telah dinyatakan macet. (vide Pasal 1 Angka 11 POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

Perlu diketahui bahwa pengambilalihan agunan sebagaimana dimaksud bersifat sementara. (vide Pasal 27 ayat (2) POJK Nomor 33/POJK.3/2018)

Pengambilalihan agunan harus disertai dengan surat Penting diperhatikan bahwa pernyataan penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat keterangan lunas dari BPR kepada Debitur. BPR wajib menilai AYDA pada saat pengambilalihan agunan untuk menetapkan nilai realisasi bersih. Penilaian AYDA sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara:

1.        Untuk AYDA dengan nilai sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dapat dilakukan oleh penilai intern BPR; dan

2.       Untuk AYDA dengan nilai lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib dilakukan oleh penilai independen.

Penilaian AYDA dilakukan terhadap setiap agunan. BPR wajib melakukan penilaian kembali secara berkala terhadap AYDA sesuai dengan standar akuntansi keuangan dan pedoman akuntansi BPR, dengan ketentuan:

1)       Dalam hal nilai AYDA mengalami penurunan, BPR wajib mengakui penurunan nilai tersebut sebagai kerugian; dan

2)      Dalam hal nilai AYDA mengalami peningkatan, BPR dilarang mengakui peningkatan nilai tersebut sebagai pendapatan.

Penanganan Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang Macet

Penanganan dalam penyelamatan terhadap Kredit Macet berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/12/BPPP tertanggal 28 Februari 1991 jo. Pasal 21 POJK Nomor 33/POJK.3/2018) dengan:

1)       Penjadwalan Kembali (rescheduling) berupa perubahan jadwal pembayaran kewajiban Debitur dan/atau perubahan jangka waktu. (vide Penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf a POJK Nomor 33/POJK.3/2018);

2)      Persyaratan Kembali (reconditioning) berupa perubahan sebagian atas seluruh persyaratan Kredit. Dilakukan melalui antara lain:Perubahan jadwal pembayaran:

-       Perubahan jumlah angsuran;

-       Perubahan jangka waktu;

-       Penurunan suku bunga Kredit; dan/atau

-       Penghapusan sebagian kewajiban. (vide Penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf b POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

3)      Penataan kembali (restructuring) Yang dimaksud dengan “penataan kembali (restructuring)” berupa perubahan persyaratan Kredit. Penataan kembali (restructuring) dilakukan melalui antara lain:

a.     Penambahan fasilitas Kredit BPR; dan/atau

b.     Konversi seluruh atau sebagian tunggakan angsuran bunga menjadi pokok kredit baru, yang dapat disertai dengan penjadwalan kembali atau persyaratan kembali. (vide Penjelasan Pasal 21 ayat (2) huruf c POJK Nomor 33/POJK.03/2018)

Penyelesaian Kredit Macet Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Untuk Penyelesaiannya dapat melalui beberapa cara sebagai berikut:

1.        Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) (vide Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang);

Mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-Undang Perbankan) sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020.

Sebagaimana dalam amar putusannya mengadili mengabulkan permohonan Pemohon; Menyatakan frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.”

Sehingga, Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang semula berbunyi:

“Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”

Berubah menjadi selengkapnya berbunyi:

“Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”

2.       Pengadilan, dapat melalui Pengadilan Negeri melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri jika debitur pailit (vide Pasal 1365 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang);

3.      Dengan menggunakan Arbitrase (vide Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau disebut dengan Undang-Undang Arbitrase dan APS)

Dasar Hukum:

1.        Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);

2.       Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

3.      Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Perbankan;

4.       Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

5.       Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;

6.      Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020;

7.       Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 49/POJK.3/2017 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat;

8.      Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK/POJK.3/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat;

9.      Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 62/POJK.03/2020 tentang Bank Perkreditan Rakyat;

10.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang); Terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pasal 12A ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

11.      Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/PBI/2006 tentang Bank Perkreditan Rakyat;

12.     Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/38/UPK tertanggal 14 Desember 1973;

13.    Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/1/UKK tertanggal  29 Januari 1990.

Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini. Terima Kasih.

Formulir Isian