Ilustrasi Presiden Taiwan Tsai Ing-wen |
Menurut Donald M. Goldstein dan Jay M. Shafritz,[1] negara
sebagai subjek hukum Internasional sebagai pengertian umum didefinisikan
melalui empat karakteristik dasarnya:
1)
Adanya Rakyat (Population);
2)
Ada Wilayah (Territory);
3)
Adanya
Pemerintahan (Government) dan;
4)
Adanya Kedaulatan
(Sovereignty).
Seluruh warga negara yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu, dan terpisahkan dengan wilayah lain, yang berada di bawah
pemerintahan dan memiliki hubungan antar wilayah melalui hubungan
hukum-kewarganegaraan yang sama disebut dengan penduduk/rakyat (population).
Kemudian, wilayah adalah suatu daerah yang dipisahkan
dengan daerah lain oleh perbatasan tertentu, tempat bertempat tinggal suatu
penduduk tertentu, dan di mana suatu kekuasaan tertentu meluas. Perbatasan tadi
kemudian menentukan batas negara yang merupakan titik akhir sampai dengan
meluasnya kekuasaan suatu wilayah tersebut tadi. Dan kekuasaan dalam suatu
wilayah tersebut mengatur hubungan-hubungan dari dalam ke luar wilayah, dan
mencerminkan sifat kedudukan internasionalnya. Kemudian kekuasaan tersebut disebut
juga dengan kekuasaan tertinggi, yang tidak mengakui bentuk lain dari kekuasaan
yang lebih tinggi daripadanya, dan itu adalah kedaulatan itu sendiri (Sovereignty).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevideo
Tahun 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara (Montevideo
Convention on the Rights and Duties of States), menyebutkan bahwa
negara itu disebut sebagai subjek hukum internasional bila memiliki:
1)
Permanent
Population (rakyat/penduduk yang
menetap);
2)
A Defined
Territory (Wilayah yang sudah
ada atau ditentukan);
3)
Government (Pemerintah/an);
4)
Capacity to
Enter Into Relations with The Other States (Kapasitas untuk menjalin hubungan (diplomatik) dengan negara yang
lainnya).
Kemudian yang jadi pertanyaan, apakah Sovereignty dapat
dipersamakan dengan Capacity to Enter Into Relations with The Other
States?
Kedaulatan adalah kekuasaan yang menentukan dalam
kesadaran individu, konstruksi sosial, atau atas suatu wilayah.[2] Kedaulatan
memerlukan hierarki di dalam negara, serta otonomi eksternal untuk negara. Di
negara mana pun, kedaulatan diberikan kepada orang, badan, atau lembaga yang
memiliki kekuasaan tertinggi atas orang lain untuk menetapkan undang-undang
atau mengubah undang-undang yang ada. Dalam hukum internasional,
kedaulatan adalah pelaksanaan kekuasaan oleh suatu negara.
Kedaulatan de jure mengacu pada hak hukum untuk melakukan
sesuatu; kedaulatan de facto mengacu pada kemampuan
faktual untuk melakukan sesuatu. Menurut Stephen Krasner, istilah ini
juga dapat dipahami dalam empat cara berbeda:[3]
1)
Kedaulatan
domestik (domestic sovereignty) - kontrol secara aktual atas negara
yang dilakukan oleh kekuasaan yang diatur dalam negara;
2)
Kedaulatan
interdependensi (interdependence sovereignty) – kontrol secara
aktual atas pergerakan melintasi perbatasan negara (antar negara);
3)
Kedaulatan hukum
internasional (international legal sovereignty) – pengakuan
formal oleh negara berdaulat lainnya;
4)
Kedaulatan
Westphalia – tidak ada kekuasaan lain di negara tersebut selain kedaulatan
domestik (contoh kekuasaan lain tersebut dapat berupa organisasi politik atau
subjek eksternal lainnya).
Sedangkan, Capacity to Enter Into Relations
with The Other States timbul tidak serta merta, memang kapasitas
melakukan hubungan dipolimatik (diplomatic relation) dengan negara
lain merupakan bagian dari pengakuan diplomatik (diplomatic recognition).
Pengakuan diplomatik dalam hukum internasional sendiri
adalah tindakan politik deklaratif sepihak dari
suatu negara yang mengakui suatu tindakan atau status negara
atau pemerintah lain yang menguasai suatu wilayah dan memiliki
pemerintahnnya sendiri (mungkin juga negara yang diakui).
Pengakuan ini dapat diberikan baik secara de
facto atau de jure. Pengakuan dapat berupa pernyataan
oleh pemerintah yang mengakui atau mungkin tersirat dari tindakan pengakuan
tertentu, seperti mengadakan perjanjian dengan negara lain atau
melakukan kunjungan kenegaraan secara resmi. Pengakuan memiliki
konsekuensi hukum nasional dan internasional. Jika negara-negara yang
cukup mengakui entitas tertentu sebagai negara, negara itu mungkin memiliki hak
untuk menjadi anggota dalam organisasi internasional tertentu,
sementara dalam hukum perjanjian internasional mungkin mengharuskan semua
negara anggota yang ada dengan suara bulat menyetujui penerimaan anggota baru.
Selain itu pengakuan diplomatik harus dibedakan dari pengakuan secara formal
dari negara kepada negara atau pemerintah lainnya.[4]
Ya, negara akhirnya memiliki hak dan kewajiban bahkan
imunitas tertentu yang diatur dalam Hukum Internasional jika mengacu pada international
legal sovereignty tadi ada kaitannya dengan Hubungan Diplomatik (Diplomatic
Relations) yang diatur dalam kaidah Hukum Internasional, mengingat
dengan adanya asas ius inter gentes, yang menjadikan Diplomatic
Relations atau hubungan diplomatic menjadi hukum internasional melalui
konvensi wina 1961 dan konvensi wina 1986 seperti:
1)
Punya Hubungan
Diplomatik dengan negara lain (Diplomatic Relations)
Catatan:
Bahwa dengan adanya Embassy (Kedutaan Besar) di masing-masing
negara sebagaimana mengikuti ketentuan Konvensi Wina 1961 tentang
Hubungan Diplomatik. Ada negara pengirim dan ada negara penerima (vide Pasal
3 Konvensi Wina 1961) punya hak dan kewajiban setara (vide Pasal
2 Konvensi Wina 1961).
2)
Dapat membuat
Perjanjian Internasional (Enter Into Treaties) dengan negara lain.
Catatan: Ini
juga sebagaimana dapat diketahui diatur dalam Konvensi Wina
1969 dan Konvensi Wina 1986.
3)
States were to
be regarded as having the same rights and privileges. Artinya, ini tidak bisa dipisahkan antara poin 1
(satu) dan poin 2 (dua) di atas dimana masing-masing negara yang mendapatkan
pengakuan international legal sovereignty (tadinya dapat
melakukan semua aktivitas internasional baik di bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya, ilmu pengetahuan, etc.)
4)
Ada hak menguggat
dan hak digugat (dapat menjadi Penggugat dan Tergugat) untuk kasus-kasus
tertentu yang dimana negaralah yang menjadi subjek hukum dalam gugatan (vide Pasal
38 ayat (3) Piagam PBB) yang membahas kewenangan Mahkamah
Internasional. Meski pun pada Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB tersebut
sangatlah mengutamakan upaya-upaya penyelesaian dengan cara perundingan,
mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan ADR lainnya di luar pengadilan. Kewenangan
lebih lanjut ICJ ada dalam Statuta of International Court of Justice
1945.
5)
Menjadi Anggota
dari PBB (a member of the United Nations). Makanya kemudian secara teori
ada dua teori yang muncul yaitu teori konstitutif (Constitutive Theory)
dan teori deklaratif (Declaratory Theory). Model pengakuannya yang
kemudian terbagi secara de facto dan de jure.
Taiwan memiliki posisi unik dalam ranah hukum
internasional. Di dalam negeri, Taiwan memiliki semua kualitas “negara
normal”, termasuk kewarganegaraan, yurisdiksi teritorial, pemerintah, dan
“kedaulatan.” Taiwan berdaulat menurut definisi hukum internasional —
Taiwan adalah kekuasaan tertinggi yang independen dari kekuasaan mana pun dalam
menjalankan pemerintahannya; namun, Taiwan tidak memiliki pengakuan yang
sama secara internasional (politik internasional).
Menurut Oppenheim[5],
pengakuan adalah persyaratan bagi suatu negara untuk menjadi anggota keluarga
internasional, dan memiliki kualifikasi saja tidak cukup. Dengan definisi
ini, Taiwan bukanlah negara “normal” seperti mayoritas negara yang ada.
Pengakuan de facto penting karena ini
yang menjadi modal utama untuk diakui secara de jure (secara
hukum). Pengakuan de facto itu bersifat provisi dan pengakuan
secara faktual sedangkan de jure pengakuan menurut hukum yang
berlaku (International Law). Pengakuan de facto diberikan
bila ada pemenuhan syarat sebagaimana Pasal 1 Konvensi Montevideo
1933, kecuali (hubungan diplomatiknya) sebelum
memenuhi syarat esensial kenegaraan. Sedangkan de jure, diberikan
ketika negara sudah memenuhi segala kondisi esensial yang diakui sah.
Berdasarkan apa? Kapasitas yaitu tadi menempatkan perwakilan ke setiap negara
lainnya dan termasuk anggota dari PBB. Mengingat pengakuan de jure dapat
saja diberikan baik dengan atau tanpa pengakuan secara de facto,
dan lain sebagaimnya.
Topik mengenai hal ini menjadi diskusi yang bagus
dalam ranah akademis, bagi mahasiswa hukum pernah belajar Hukum Diplomatik dan
Konsuler pasti bakal tahu kenapa di Taiwan Indonesia tidak punya Embassy dan
juga KJRI di Taiwan akan tetapi hanya ada PRC atau China. Meski demikian
hubungan dengan Taiwan baik secara ekonomi sebagaimana adanya Kantor Dagang dan
Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei.
Info lebih lanjut Anda dapat mengirimkan ke kami
persoalan Hukum Anda melalui: Link di sini. atau
melalui surat eletronik kami secara langsung: lawyerpontianak@gmail.com atau
langsung ke nomor kantor Hukum Eka Kurnia yang ada di sini.
Terima Kasih.
[1]
Phil Williams, Donald M.
Goldstein, Jay M. Shafritz, “Classic Readings of International
Relations”, (Wadsworth Publishing Company, 1994), 82.
[2]
Daniel Philpott, “Sovereignty:
An Introduction and Brief History”, (Journal of International Affairs. 48 (2),
353–368.
[3] Professor Stephen D. Krasner, “Problematic
Sovereignty: Contested Rules and Political Possibilities”, (Columbia
University Press, 2001) 6–12.
[4]
Stefan Talmon, “Recognition
of Governments in International Law: With Particular Reference to Governments
in Exile”, (Oxford; Clarendon Press, 1998), 1–4
[5] Oppenheim, “International Law: A Treatise”, (Longmans, Green and Company, 1920)