Ilustrasi Omnubus Law |
Dalam Draft Rancangan Perundang-Undangan (RUU) Cipta Kerja Pertanggal 13 Oktober 2020 kini yang terbaru berubah lagi menjadi 812 halaman.
Rancangan Perundang-Undangan (RUU) tentang Cipta Kerja dengan menggunakan Omnibus Bill atau Omnibus Law Concept sedikitnya (untuk sementara sesuai dengan draft pertanggal 5 Oktober 2020) terdapat 79 Undang-Undang yang diubah, dihapus, dan/atau ditetapkannya pengaturan baru di dalamnya dengan tujuan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan investasi asing di dalam negeri dengan mengurangi persyaratan peraturan untuk izin usaha dan proses pengadaan tanah.
Karena halaman dan cakupannya di banyak sektor non-lapangan kerja inilah yang kemudian menjadikan Rancangan Perundang-Undangan ini disebut dengan Omnibus Law juga menimbulkan polemik, pro dan juga kontra, meski kontra terhadapnya lebih banyak.
Latar Belakang Lahirnya UU Cipta Kerja
Sebelumnya dalam pidato pengukuhannya pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo memaparkan Visi Indonesia tahun 2045 dengan salah satu tujuannya adalah untuk mendongkrak Perekonomian Indonesia dan menjadikan Ekonomi Indonesia Terbesar ke- 5 Dunia. Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia saat ini adalah regulasi yang berlebihan serta tumpang tindih di bidang Ekonomi dan Bisnis yang menghambat pertumbuhan iklim investasi di Indonesia sendiri.
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah overregulasi tersebut, maka Pemerintah telah menyusun RUU Cipta Lapangan Kerja dan RUU Perpajakan untuk mempermudah UU yang tumpang tindih dengan harapan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kemudahan melakukan peringkat bisnis.
Konsep Omnibus Law
Menurut Black's Law Dictionary, Omnibus Bill adalah suatu RUU yang berisi berbagai materi berbeda atau sebuah RUU yang menangani semua proposal yang berkaitan dengan subjek tertentu.
Singkatnya, ini merupakan strategi Hukum yang dipandang sebagai “satu hukum yang mengatur semuanya” atau “the one law to rule them all”.
Omnibus Bill sering kali diterapkan di negara bagian Common Law System seperti Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Irlandia. Dikutip dari Hukumonline, Omnibus Bill pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1888 dan mulai tahun 1967 metode Omnibus Bill semakin populer terutama ketika Pierre Trudeau (Mantan Perdana Menteri Kanada) memperkenalkan RUU Amandemen Hukum Pidana dengan menggunakan konsep ini.
Di Asia Tenggara, negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Kamboja sudah menetapkan Omnibus Bill di negaranya masing-masing. Di Indonesia, sama dengan undang-undang atau undang-undang lainnya, Legal Standing dari konsep ini akan berpedoman pada Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta revisinya, yang menyatakan bahwa dalam hierarki undang-undang, Undang-Undang atau UU ditempatkan di bawah ini. Konstitusi dan TAP MPR dan di atas semua peraturan lainnya. Namun, Pemerintah bermaksud menggunakan Omnibus Bill baru sebagai Undang-Undang Payung.
Walter Oleszek, seorang senior specialist di American National Government at the Congressional Research Service, pernah mengulas terkait Omnibus Bill dalam tulisannya "Congressional Procedures and The Policy Process", 1978, menulis bahwa:
"Packaging all or a number of appropriation bills together creates what are called omnibus or minibus measures. These bills appropriate money to operate the federal government and make national policy in scores of areas. These omnibus bills grant large powers to a small number of people who put these packages together - party and committee leaders and top executive officials. Omnibus measures usually arouse the irk of the rank-and-file members of Congress because typically little time is available in the final days of a session to debate these massive measures or to know what is in them. Absent enactment of annual appropriation bills or a CR, federal agencies must shut down, furloughing their employees. Moreover, "uncertainty about final appropriations leads many [federal] managers to hoard funds; in some cases, hiring and purchasing stops."
Dengan membuat suatu Rancangan Perundang-Undang dengan model Omnibus ini menurut Oleszek justru menimbulkan kejengkelan dari anggota Kongres, kenapa demikian? Karena biasanya hanya ada sedikit saja waktu yang tersedia di hari-hari terakhir sesi untuk memperdebatkan atau membahas isi dari Rancangan Perundang-Undangan itu dalam lingkup yang besar besar atau untuk mengetahui apa yang ada di dalamnya.
Juga menurutnya, "omnibus bills have become more popular since the 1980s because party and committee leaders can package or bury controversial. Provisions in one massive bill to be voted up or down."
Omnibus Bill adalah konsep hukum yang perlu dipikirkan ulang untuk ditolak, beda dengan Cipta Kerja.
Upaya Sentralisasi
Intinya, pengaturan Omnibus Bill ini diarahkan untuk membenahi kemudahan perizinan investasi di Indonesia.
Dengan kemudahan perizinan usaha tersebut, Presiden Jokowi berharap akan semakin banyak investasi yang masuk sehingga dapat membuka lapangan kerja di Indonesia, termasuk bagaimana investor asing dapat bekerjasama dengan sektor UMKM guna memperkuat sektor usaha.
Selain memperkuat sistem registrasi perizinan usaha secara terintegrasi dan elektronik (disebut juga Online Single Submission / OSS system), namun peraturan perundang-undangan tersebut juga diarahkan untuk penataan kewenangan pemerintah dan pengetatan pengawasan dan pembinaan oleh Pemerintah.
Persoalan utama dalam Omnibus Bill ini adalah soal penataan kewenangan pemerintah guna memangkas birokrasi perizinan yang menghambat investasi. Jadi, semua izin yang sudah diberikan kepada pemerintah daerah akan ditarik menjadi kewenangan Presiden.
Meski kewenangannya akan ditarik langsung ke Presiden, Presiden bisa melimpahkan amanah tersebut kepada lembaga negara yang ditunjuk. Sasaran utama penataan kewenangan pemerintah dalam Omnibus Bill diharapkan dapat menghilangkan ego sektoral (Kementerian Lembaga dan Daerah).
Tentunya undang-undang ini akan berdampak pada kewenangan menteri dan pemerintah daerah yang selanjutnya mencabut semua kewenangan langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Omnibus Bill ini akan berdampak besar terhadap UU Pemerintahan Daerah (meski bukan hanya UU Pemda saja). Satu di antara aspek yang disinggung dalam hal penataan kewenangan pemerintah adalah mengenai pemberian izin oleh Pemerintah Daerah.
Kewenangan besar Presiden mampu membatalkan perda yang bertentangan dengan undang-undang. Untuk mencegah terjadinya inkonsistensi antara peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan adalah dengan memberikan kewenangan langsung kepada Presiden untuk menetapkan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) urusan pemerintahan dan harus ditaati oleh Menteri dan pemerintah daerah. Penetapan NSPK oleh Presiden nantinya akan menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah.
Penolakan Secara Masif Terhadap RUU Cipta Kerja
Amnesty International Indonesia mendesak kepolisian untuk menghentikan tindak represif dalam menghadapi pengunjuk rasa penolak Omnibus Law.
Pihak aparat Indonesia harus memastikan terwujudnya penghormatan penuh, dengan tidak melakukan kekerasan karena mulai meluasnya demonstrasi menyikapi pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak aparat kepolisian karena laporan adanya insiden kekerasan dan penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa di berbagai kota selama 6-7 Oktober 2020. Menurutnya, demonstrasi adalah pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) atas kemerdekaan berekspresi bagi seluruh warga negara (mahasiswa, petani, buruh, dan pelajar), maka dari itu, aparat kepolisian harus menghormatinya.
Di sejumlah daerah pun mengalami penolakan terhadap RUU Cipta Kerja tersebut tidak hanya di Jakarta, yang kemudian itu mendapat atensi dari publik sekitar. Sebetulnya bukan hal baru jika melihat polemik yang dihasilkan oleh RUU ini menjadi atensi publik, mengingat juga ada anggota dewan yang terhormat kemarin saat ada Lembaga Negara juga yang memberikan masukkan justru diserang dengan cara yang tidak elegan. Apalagi mahasiswa, buruh, nelayan, petani, dan masyarakat sipil yang dijamin oleh Undang-Undang untuk berunjuk rasa.