layananhukum

Pencitraan dalam Peradaban dan Penyempitan Makna oleh Kebudayaan


“Presiden Joko Widodo, hari ini kembali ke Lombok untuk melihat dan bergumul dengan para korban yang berada di sebuah tenda, tampak dalam kata sambutannya untuk Asian Games 2018 Jakarta-Palembang,” laporan berita di televisi malam ini.

“Paling hanya pencitraan,” tulis seorang netizen di twitter.

“Loh, pak kalau lagi ada bencana wong jangan dipolitisasi-lah, tampak sekali pencitraannya,” tulis yang lainnya.

“Seharusnya, Presiden itu tidak seperti itu mengingat sedang ada bencana sudah lah stop dulu pencitraan untuk meningkatkan elektabilitas, agar dianggap Presiden yang perduli. Padahal sama sekali dia tidak otentik, dan kesannya dibuat-buat,” kicauan twitt seorang anggota DPR.

Beberapa percakapan di atas hanya sedikit dari gambaran yang bisa kita tangkap mengenai pencitraan hari ini.

Pencitraan itu begitu lekat dan akrab di telinga masyarakat Indonesia beberapa tahun belakang ini, meski ini bukan kata atau konsep yang baru dikenal. Pencitraan yang semula identik dengan kegiatan kehumasan (public relations) di bidang ekonomi dan bisnis, namun kini sudah merambah ke semua bidang kehidupan dan paling sering digunakan untuk kepentingan politik.

Di dunia politik dan hiburan, pencitraan bukan hal yang baru dan kini justru selalu sering diucapkan oleh siapa saja. Permasalahannya sekarang, semakin meluasnya istilah pencitraan ini maka pemaknaan pencitraan pun semakin berkembang.

Pencitraan juga tidak hanya menggiring atau membangun semacam opini yang dipublikasikan mengenai suatu yang baik atau menjamin suatu kualitas dari produk dan pelayanan.

Namun jika produk atau pelayanan itu tak seperti yang dipikirkan atau dirasakan baik maka dilakukan suatu 'manipulasi' agar apa yang dicitrakan tersebut menjadi 'tampak bagus'.

Tanpa disadari pemaknaan yang kedua yang lebih dominan ditonjolkan maka tidak salah jika kemudian masyarakat menjadi cenderung 'alergi' ketika mendengar istilah pencitraan. Pencitraan mengalami proses peyoratif (penurunan makna) karena kurangnya literasi dan pemahaman akan konteks itu sendiri.

Marshall McLuhan pernah mengatakan bahwa akan terbentuknya sebuah kampung global (global village), dimana orang di berbagai belahan dunia bisa saling berinteraksi satu sama lain melalui teknologi komunikasi.

Dalam istilah lain, Yasraf Amir Piliang menyebut kondisi semacam itu disebut sebagai dunia yang dilipat. 

Di kampung global atau di dunia yang dilipat, orang tidak lagi memahami realitas sosial secara langsung melainkan realitas simbolik yang dihadirkan melalui media. Simbol berbeda dengan tanda ikon. Simbol di sini merupakan sarana dalam mempresentasikan suatu obyek, makna yang dihadirkan merupakan hasil kesepakatan terhadap obyek tersebut. 

Konsepsi simbolisme pada dasarnya merujuk pada penggunaan simbol-simbol sebagai sarana penyampaian pesan, aspirasi, serta hasrat.

Dalam dunia simbol, dimana tidak terlepas dari penyaluran hasrat manusia yang tidak dapat dituangkan secara gamblang, tetapi pesan yang ditampilkan dalam perwujudan yang berbeda atau tidak nyata, dengan kata lain, terjadi penghalusan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang dilekatkan pada simbol yang digunakan.

Realitas simbolik itulah yang kemudian membentuk apa yang disebut oleh Walter Lippman sebagai Pictures in our heads, kemudian inilah yang nanti dapat dipahami sebagai citra.

Apa itu Citra?

Citra adalah kesan, perasaan, gambaran dari publik terhadap orang, badan, perusahaan atau organisasi; kesan yang dengan sengaja diciptakan dari suatu obyek, orang atau organisasi tersebut. Saat ini, hampir semua pihak yang berkepentingan dengan opini yang dipublikasi menyadari pentingnya mengelola citra.

Seperti citra sebuah perusahaan yang positif di mata masyarakat merupakan hal esensial untuk meraup kesuksesan yang berkelanjutan dan jangka panjang untuk kepentingan perusahaan tersebut.

Dimana dari situ akan mendatangkan goodwill dari publik terhadap badan atau perusahaan itu untuk terus memakai jasa mereka, atau percaya terhadap perusahaan tersebut. Sementara perusahaan yang buruk akan menjauhkan publik dari mereka.

Meskipun demikian, citra adalah fragile commodity. Jika tidak dikelola dengan benar maka citra akan mudah sekali rusak, oleh karena citra itu adalah kesan, perasaan atau gambaran publik tentang orang, badan, atau perusahaan sebagaimana yang telah diterangkan oleh penulis.

Kalau kita lihat sejarah, pencitraan itu sudah digunakan oleh para pemimpin di zaman primitif dan terus berkembang atas perkembang peradaban. Para pemimpin ini biasanya menjaga reputasi mereka dengan melakukan pengawasan terhadap para pengikutnya melalui penggunaan simbol, kekuatan, hal-hal yang bersifat magis, tabu, dan berbau supranatural.

Pada zaman Mesir kuno misalnya, untuk memelihara kesan publik akan keagungan Rajanya maka didirikan bangunan-bangunan semacam piramida dan Spinx dan memposisikan Raja sebagai Tuhan.

Kalau Anda masuk ke Piramida atau makam Firaun di Mesir, maka akan ada jalan masuknya itu membuat kita yang ingin berkunjung harus menunduk, bayangkan betapa simbol dan peradaban saat itu begitu memikirkan hal sampai sejauh itu yang meminta kita yang kini untuk tunduk pada Firaun kala itu.

Pada masa perkembangan peradaban Yunani dan Romawi, kesadaran akan pentingnya opini publik dan pencitraan juga sangat kuat. Mulai dari karya seni dan sastra pada masa itu banyak diarahkan untuk menguatkan reputasi raja. Kaum bangsawan istana umumnya adalah ahli-ahli persuasi dan retorika yang luar biasa.

Karya Pidato Cicero misalnya, tulisan bersejarah Julius Caesar, bangunan-bangunan dan tempat ritual saat itu banyak digunakan sebagai media pembentukan opini publik dan pencitraan.

Dalam perspektif antropologi simbolik, simbol politik dimaknai sebagai konfigurasi ideologi perjuangan, akan pemaknaan kekuasaan, dan identitas kolektif. Sebagai ideologi perjuangan, untuk mengarahkan individu mengikuti sikap dan perilaku politik sesuai dengan yang diarahkan.

Simbol politik inilah sebagai eksplorasi dari makna kekuasaan yang memotivasi adanya konflik atau terbentuk suatu koalisi.

Pencitraan

Pencitraan ialah satu di antara bentuk komunikasi yang menuntut kesamaan makna sebagai hasil akhirnya. Dimana pelaku pencitraan berharap agar masyarakat kemudian bisa memiliki kesan tentang diri, produk, kualitas yang dicitrakan sesuai dengan yang diharapkan.

Karena pencitraan sangat terkait dengan dimensi fisik, yaitu tempat dimana citra itu berada (konsep ruang).

Seseorang harus mencitrakan diri secara berbeda ketika berada di tempat yang berbeda. Secara dimensi sosial psikologis, ada keterkaitan antara lingkungan hubungan kejiwaan antara komunikator dan komunikan.

Seseorang akan mencitrakan dirinya berbeda ketika hubungan dengan orang dari status sosial ekonomi yang berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, kedekatan emosional yang berbeda dan lain sebagainya. 

Last, pencitraan juga erat kaitannya dengan dimensi temporal (konsep waktu), yaitu waktu dalam keseharian atau periode tertentu. Seorang politisi mencitrakan diri berbeda dalam masa kampanye dan sesudah terpilih, misalnya. Dalam geografi juga citra dibuat untuk mengambil suatu kesimpulan akan suatu penafsiran yang mana ini yang nanti disebut sebagai interpretasi.

Interpretasi inilah yang dalam konteks ketika kita membuat suatu kesimpulan bahwa pencitraan adalah proses untuk mendapatkan citra yang sesuai dengan harapan dan/atau yang diharapkan oleh orang.

Maka kemudian pertanyaannya, adalah bagaimana proses itu dilakukan?? Bagaimana citra yang diharapkan itu bisa sebagaimana yang kita harapkan?

Secara deduktif, upaya mencari jawaban atas pertanyaan itu bisa dimulai dari jawaban ontologis tentang hakikat citra. Citra yaitu seperti tadi, kesan yang timbul karena pemahaman atas sesuatu. Pemahaman itu sangat bertolak ukur pada jumlah informasi yang dimiliki atau pengalaman yang dimiliki terhadap sesuatu itu.

Dengan poin penting, pencitraan itu harus berdasarkan integritas terhadap etika publik, dimana ini merupakan upaya untuk membangun suatu mental dan kesan publik (citra) terhadap diri agar sesuai dengan harapan diri dari diri sendiri itu secara ontologis. 

Karena itu sangat penting memberi informasi maupun pengalaman yang memadai kepada publik mengenai obyek pencitraan itu secara hakiki dan radikal. Oleh karena itu karena nilai atau kegunaan pencitraan bisa bersifat subyketif dan obyektif. 

Seyogyanya pencitraan tetap dilaksanakan dan memang harus ada sebagai simbolik untuk membentuk kecerdasan publik agar mampu secara mandiri untuk meningkat kualitas mutu baik bagi sang pencitra dan mereka yang melihat citra itu. Karena kebutuhan publik pada semacam rangsangan baru untuk bergerak secara rasional harus selalu diuji tanpa harus dan ada yang orang-orang katakan dengan pembohongan publik.

Karena dengan demikian kita sebagai warga negara mulai dapat melihat secara gamblang mengenai apa itu pencitraan, fungsinya, dan apa yang melatar belakangi itu dengan catatan mulai memperbanyak literasi dan menambahkan pengetahuan.

Formulir Isian