layananhukum

Memacasilaiskan Mahasiswa di Dunia Kampus

Gambar: Flickr


Dengan sedikit refleksi sederhana tentang bagaimana cakrawala imajinasi sejarah dapat berubah, kita menemukan diri kita dalam media, dipaksa untuk menerima keterkaitan yang tak henti-hentinya dari gagasan ideologi yang ada.

Hingga satu atau dua dekade lalu, sistem produksi-sifat (hubungan produktif-eksploitatif manusia dengan alam dan sumber dayanya) dianggap konstan, sedangkan setiap orang sibuk membayangkan berbagai bentuk organisasi sosial produksi dan perdagangan (Fasisme atau Komunisme sebagai alternatif dari kapitalisme liberal); hari ini.

Seperti yang dikatakan oleh Fredric Jameson dengan tajam, tidak ada yang secara serius mempertimbangkan kemungkinan alternatif untuk kapitalisme lagi, di mana imajinasi populer dianiaya oleh visi 'perusakan alam' yang akan datang.

Penghentian semua kehidupan di bumi - tampaknya lebih mudah untuk membayangkan ‘akhir dunia’ daripada perubahan yang jauh lebih sederhana dalam mode produksi, seolah-olah kapitalisme liberal adalah 'nyata' yang entah bagaimana akan survive bahkan di bawah sebuah kondisi bencana ekologis global (global ecological catastrophe).

Dengan demikian seseorang dapat dengan tegas menegaskan keberadaan ideologi sebagai matriks generatif yang mengatur hubungan antara kasat mata dan tidak kasat mata, antara yang dapat dibayangkan dan yang tidak dapat dibayangkan, serta perubahan dalam hubungan ini. (Slavoj Zizek, Mapping Ideology, 1994).

Sebelum masuk ke topik yang bakal jadi kontroversi mari kita baca berita terbaru yang dikutip dari Tirto.id (Problem Permenristekdikti Soal Pembinaan Ideologi Bangsa di Kampus) Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir kembali menggalakkan sosialisasi Permenristekdikti Nomor 55/2018 ke sejumlah kampus. Kebijakan yang sempat ramai pada November 2018 ini mengatur soal pembinaan ideologi bangsa dalam kegiatan kemahasiswaan.

Nasir mengatakan, regulasi ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman akan ideologi bangsa serta mencegah radikalisme dan intoleransi yang berkembang di lingkungan kampus.

“Peraturan menteri ini ada untuk menjembatani wawasan kebangsaan dan bela negara melalui unit kegiatan mahasiswa,” kata Nasir, di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa, 5 Februari 2019.

Nasir menjelaskan, fokus Permenristekdikti ini mengacu kepada empat Pilar Kebangsaan, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.

“Saya pikir mahasiswa yang punya potensi besar untuk membangun negeri ini. Kalau urusan kebangsaannya saja masih bermasalah, ini akan menjadi problem bagi mereka untuk membangun negara di masa yang akan datang,” kata Nasir.

Namun kegiatan mengenai penguatan Ideologi Pancasila ini pun menuai kritik dari beberapa orang karena dinilai seperti hendak membatasi ruang gerak dari mahasiswa, meski pun kegiatan /seminar semacam ini pernah dilakukan dan satu di antaranya di Universitas Negeri di Kota Pontianak yaitu Universitas Tanjungpura, bulan Oktober 2018 silam, (Baca Di Sini).

Yang mana mengadakan adalah BEM UNTAN sendiri. Bertujuan untuk memberi bekal yang cukup kepada mahasiswa/i tentang implementasi dari nilai-nilai yang terkandung di dalam pancasila dan kehidupan bernegara.

Memang sekilas tidak ada yang salah dengan hal ini, tapi ada beberapa hal yang ingin saya bagikan dengan beberapa kutipan pikiran dan memulai dengan dua pokok pikiran, pertama mengenai apa yang dimaksud dengan ideologi dan deradikalisasi?

Yang kedua membedah yang pokok pikiran dari yang mengatakan:

Meningkatkan pemahaman akan ideologi bangsa serta mencegah radikalisme dan intoleransi yang berkembang di lingkungan kampus.  

Menjadi topik yang menarik bagi saya dan ingin saya jabarkan pelan-pelan. 

Ideologi

Saat pertama kali ditanya mengenai what is ideology? Jawaban bermacam-macam (secara harfiah) akan kita terima namun yang kita tahu secara pasti saat menyebut term ideologi yang ada di dalam isi kepala kita adalah Pancasila. Dari kata "Pancasila" itu sendiri kita dapat semacam gambaran projection mengenai "oh, itulah ideologi yang saya kenal!" 

Menurut Cambridge Dictionary, yang disebut ideology is a theory, or set of beliefs or principles, especially on one which a political system, party or organization is based (example) socialist/capitalist ideology. 

Ideologi adalah serangkaian ide, kepercayaan, atau pendirian yang menentukan perspektif untuk menafsirkan realitas sosial dan politik. Istilah ini digunakan baik dalam arti a pejorative or neutral sense tetapi mengandung konotasi politik. 

Kata ideologi diciptakan oleh Pangeran Antoine Destutt de Tracy, seorang matrealis Prancis pada akhir abad ke-18, untuk mendefinisikan "ilmu gagasan." 

Tracy seorang pemikir abad pencerahan dari Prancis yang berusaha membangun perspektif yang dengannya ide-ide didasarkan pada pengalaman dan persepsi indera, yang bertentangan dengan perspektif teologis dan metafisik. 

Dia mencoba membangun "ilmu gagasan" dan menyebutnya "ideologi." Para pemikir abad Pencerahan yang membangikan ide Tracy disebut "ideologist."

Hingga Napoleon menuduh para pemikir abad Pencerahan kala itu berusaha untuk mempromosikan hak asasi manusia, kebebasan dan cita-cita pemikir abad pencerahan lainnya. 

Oleh sebab itu, dia menyebut mereka "ideologues" dalam arti yang peyoratif atau merendahkan, yang dia maksudkan sebagai "fanatik idealistik yang tidak realistis."

Namun, Karl Marx yang memberi makna baru pada istilah ideologi, yang menjadi asal dari berbagai interpretasi kontemporer dari istilah ini hingga sekarang. Marx mendefinisikan "ideologi" sebagai "kesadaran palsu" dari kelas yang berkuasa dalam masyarakat yang secara salah menghadirkan ide-ide mereka seolah-olah mereka (ide/gagasan) adalah kebenaran universal.

Gagasan mereka tidak universal atau objektif, Marx berpendapat, tetapi mereka muncul dari dan melayani kepentingan kelas mereka. Itulah kritik Marx terhadap Hegelian seperti Bruno Bauer dan Feuerbach, yang dia anggap gagal menangkap realitas sosial, setidaknya dari perspektif Marx. Marx menuduh "kesadaran palsu" idealis mereka sebagai "ideologi".

Saat ini, istilah ideologi digunakan dalam arti yang jauh lebih luas daripada formulasi asli Marx. Dalam pengertian yang merendahkan, itu berarti serangkaian ide yang digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan dan kepentingan tersembunyi dengan mendistorsi realitas sosial dan politik.

Kepentingan tersembunyi berarti kepentingan kelas untuk Marx, tetapi kepentingan itu dapat berupa jenis kepentingan lainnya. Perasaan ini lebih dekat tetapi lebih luas dari formulasi asli Marx. Dalam arti netral, itu berarti serangkaian ide disertai dengan tujuan, niat, minat, dan komitmen politik.

Sementara pandangan dunia tidak selalu berkonotasi atau bernada politik, karena sebuah ideologi selalu mengandung implikasi politik. Tujuan utama di balik ideologi adalah untuk mempengaruhi perubahan dalam masyarakat melalui proses pemikiran normatif. 

Penerapan ideologi dalam masalah-masalah publik menjadikannya penting bagi politik. Secara implisit, setiap kecenderungan politik memerlukan ideologi apakah itu diajukan atau tidak sebagai sistem pemikiran yang eksplisit. (New World Enclyclopedia, 2019)

Pertanyaan selanjutnya jika ideologi disebut sebagai seperangkat keyakinan, prinsip terutama yang didasarkan pada sistem politik, partai atau organisasi. Sejauh manakah seperangkat keyakinan (Pancasila) dan prisip negara (state) ditinjau dari sistem politik partai dan atau organisasi?? 

Kembali dikutip dari Tirto.Id (Corak Ideologi Partai-Partai Di Indonesia)  Sepanjang 20 tahun lebih Indonesia mempraktikkan demokrasi, jawaban umum untuk pertanyaan-pertanyaan di atas adalah tidak, tidak, tidak, dan tidak. Pertanyaan yang dimaksud adalah mengenai: 

Apakah semua partai politik di Indonesia seragam? Benarkah beberapa partai menghendaki pembaruan (reform) ketimbang yang lainnya? 

Apa betul partai-partai tertentu membela kepentingan bisnis sementara sisanya merasa bersanding dengan kaum miskin? Apakah pemetaan partai di Indonesia berdasarkan spektrum ideologis “kiri” dan “kanan” masuk akal?

Banyak pengamat telah menunjukkan bahwa dalam hal kebijakan dan ideologi, partai-partai Indonesia nyaris sulit dibedakan. Satu-satunya keterbelahan (division) yang jelas dalam dunia kepartaian Indonesia adalah soal sebesar apa partai mendudukkan peran Islam dalam kehidupan publik.

Lantas pertanyaannya dimana keberadaan Pancasila dan kapan dimulainya ideologi Pancasila dalam posisi atau sebagai ideologi baik berbangsa dan bernegara dan mulai diakui sebagai ideologi dalam partai politik? 

Demokrasi Pancasila dimulai sejak Pemerintahan Suharto (orde baru), dimana kala itu Presiden Suharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila adalah demokrasi, kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya.

Di awal masanya Orde Baru tampil ke pentas politik dengan demokrasi dengan corak libertarian (padahal kalau di Amerika tanpa disadari sebenarnya ideologi pemerintah kala itu adalah kiri, tapi karena anti dengan term 'kiri' yang dieratkan dengan komunisme) di bidang politik dan berusaha memberikan kepuasan di bidang ekonomi kepada rakyat Indonesia. 

Namun lambat laun justru seperti yang kita ketahui malah mengarah ke bentuk ekstrim dari politik kanan yaitu authoritarianismyang erat dengan fascism.

Deradikalisasi

Menurut Collins Dictionaryderadikalisasi adalah the practice of encouraging those with extreme and violent religious or political ideologies to adopt more moderate views. (praktik mendorong mereka yang memiliki ideologi agama atau politik yang ekstrem dan keras untuk mengadopsi pandangan yang lebih moderat.) 

Sedangkan menurut Oxford Dictionary, deradikalisasi adalah The action or process of causing a person with extreme views to adopt more moderate positions on political or social issues, yang bermakna tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Lantas yang jadi pertanyaan apa itu moderate

Masih menurut Oxford Dictionary, moderate is (of a person, party, or policy) not radical or excessively right- or left-wing. Sederhananya, moderate adalah posisi seseorang yang berada pada spektrum tidak di kiri dan di kanan, dan tidak radikal.


Dalam pengertiannya deradikalisasi dalam bahasa, mengacu pada Semiloka Pelayanan dan Penegakan Hukum Melalui Program Deradikalisasi sebagai Upaya Pencegahan Terjadinya Tindakan Terorisme di Indonesia adalah Deradikalisasi adalah segala upaya untuk menetralisir paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti hukum, psikologi, agama, ekonomi, pendidikan, kemanusiaan dan sosial-budaya bagi mereka yang dipengaruhi atau terekspose paham radikal dan/atau prokekerasan. 

Ideologi Bangsa di Kampus Dalam Upaya Dengan Dalih Deradikalisasi

Kembali mengutip Zizek, yaitu ketika beberapa prosedur dikecam sebagai 'ideological par excellence' (terbaik dari antara yang lain secara ideologis), orang dapat yakin bahwa inversinya tidak kurang ideologis. 

Sebagai contoh, di antara prosedur yang secara umum diakui sebagai 'ideologis' jelas merupakan proses abadi dari suatu kondisi yang terbatas secara historis.

Tindakan membedakan beberapa kebutuhan yang lebih tinggi dalam kejadian kontingen (dari landasan dominasi laki-laki dalam 'nature of things' hingga menafsirkan penyakit AIDS ialah sebagai hukuman untuk kehidupan manusia modern yang penuh dengan dosa, atau pada tingkat yang lebih intim, ketika kita menemukan 'true love' kita, it seems as if this is what we have been waiting for all our life, as if, in some mysterious way. 

Semua kehidupan kita sebelumnya telah mengarah ke pertemuan ini ...) -kontingensi yang tidak masuk akal dari yang sebenarnya yang sedemikian rupa 'diinternalisasi', 'disimbolkan', 'dilengkapi' dengan makna. 

Akan tetapi menurut Zizek itu bukanlah ideologi, melainkan prosedur kebalikan dari kegagalan untuk memperhatikan keharusan, salah mengartikannya sebagai kemungkinan yang tidak penting. 

Dalam pengertian yang tepat ini, ideologi adalah kebalikan yang tepat dari internalisasi kontingensi eksternal: ia berada dalam eksternalisasi hasil dari kebutuhan batin, dan tugas kritik terhadapnya di sini adalah tepatnya untuk membedakan kebutuhan tersembunyi apa yang muncul sebagai suatu keharusan hanya suatu kemungkinan. 

Hal yang senada dengan kritik Marx sebelumnya terhadap hal tersebut.

Ideologi Pancasila ada di kampus, memang sedikit membingungkan bagi saya, karena untuk bisa merapikan kerumitan cara berpikir yang ada dalam otak para penyusun kebijakan, di kampus ideologi itu hanya ada satu ideologi sejauh yang saya ketahui yaitu fallibilism

Falibisme artinya menyatakan semua pengetahuan dianggap salah, karena kepastian mutlak suatu pengetahuan atau pemikiran itu tidak ada. Oleh karena itulah gunanya kampus yang juga secara ideologis kita mengenal tridharma perguruan tinggi, satu di antara dari tiga dharma itu adalah penelitian (research) dan pengembangan (development).

Karena sifat ilmu dan pengetahun itu selalu berkembang dan dinamis, tidak stagnan. Ideologi Pancasila jika dimasukkan di kampus sama sekali bukan masalah, justru bagus karena di kampuslah pemikiran dari sila-sila tersebut dapat dibedah secara akademis, sebagaimana dengan isme-isme (pemikiran-pemikran) seperti liberalisme, libertarianisme, marxisme, konservatisme dsb.

Namun ajaibnya upaya untuk membedahkan pikiran dari ideologi itu sendiri ditutup dan dianggap "stop!! tidak ada ideologi lagi dan Pancasila sudah final!!" Lalu untuk apa masuk kampus?

Sesuatu yang masuk kampus artinya sesuatu yang harus bisa diteliti, diuji, dan dikembangkan, akhirnya ideologi bangsa itu sendiri menjadi sesuatu yang kabur dan bias oleh para pemangku kekuasaan yang merepresentasikan pikiran dari state.

Akhirnya ideologi pun dianggap sebagai prosedur yang harus! Karena harus artinya tidak boleh tidak! Bukan sebuah kemungkinan yang mestinya bisa diuji, lalu ada yang bilang lagi kalau begitu kamu radikal! Loh, justru menjadi radikal itu bagus dan harus!

Dalam Metodologi Penelitian Filsafat, filsafat dikenal juga sebagai cara berpikir (philosophy as a method of thought). Berfilsafat itu artinya berpikir, meski tidak semuanya berpikir dapat dikatakan berfilsafat, antara lain berpikir traditional dan berpikir ilmiah.

Berpikir filsafat artinya, berpikir yang konsepsional, mendasar, sehingga menyentuh esensi yang dipikirkan. Adapun satu di antaranya adalah berpikir secara radikal. Radikal artinya berpikir secara mendalam, sampai akar yang paling ujung sampai menyentuh akar persoalaannya atau esensinya.

Tapi kan, itu hanya berlaku bagi mereka berfilsafat tidak semua orang. Astaga, karena itulah yang jadi problem utamanya. Anda sama sekali tidak membedahkan secara benar, bersih dan jujur, kenapa dan apa faktor seseorang itu menjadi radikal.

Karena banyak di beberapa negara upaya kontra-ekstremisme gagal karena program reformasi ideologis yang dijalankan oleh pemerintah tidak memiliki kredibilitas dan pendekatan yang belum mampu untuk menekan terjadinya aksi teror dan intoleransi.

Karena ada beberapa faktor yaitu perlakuan negara terhadap seseorang begitu represif dan secara psikologis pun tidak diperhatikan entah yang menurut Sigmund Freud yang mencetuskan terms  seperti id, ego dan super ego.

Kembali kita bertanya sampai sejauh manakah negara mampu membedah itu? Kemudian kita masuk ke penyusunan kebijak publik mengenai anggaran negara yang dikeluarkan untuk deradikalisasi, masuk ke mana hal yang disebutkan di atas, sebagai gejala, penyebab, atau faktor dari kegagalan kebijakan itu sehingga dicari cara lain dengan analisis memasukkan ideologi bangsa ke dalam kampus??

Di tahun 2016 lalu, mantan Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls pernah menyajikan 80 poin dalam kebijakannya, dengan menganggarkan sebesar $ 114 juta untuk melawan jihadis.

Melalui Pusat Eksperimental Deradikalisasi yang Valls harap akan mengubah ekstremis Prancis menjadi warga negara yang tidak mengancam dan dapat bergabung kembali dengan masyarakat. Tujuannya memang bermanfaat, tetapi ini dilumpuhkan oleh fokus khas Prancis pada simbolisme nasionalis sekuler.

Dikutip dari foreignpolicy.com (Want to Deradicalize Terrorists? Treat Them Like Everyone Else) saat berada di pusat deradikalisasi, ada sembilan sukarelawan untuk rehabilitasi yang bekerja dengan para guru, psikolog, dan imam di sebuah chateau pedesaan di Lembah Loire untuk membahas agama dan ideologi jihad.

Peserta rehabilitas diharapkan berhenti makan-makanan halal. Setiap hari, mereka mempelajari sejarah, filsafat, dan sastra Prancis, mengenakan seragam, dan menyanyikan lagu kebangsaan.

Tidak mengherankan, program ini berakhir lima bulan setelah dibuat. Penduduk desa setempat memprotes kedekatan mantan ekstremis dengan komunitas mereka dan beberapa pakar dan pejabat Prancis mengkritik model ini karena cacat desainnya yang canggung dan berat.

Meskipun model ini tidak mencerminkan strategi deradikalisasi Prancis yang komprehensif, model ini menunjukkan bahwa ketika dilakukan dengan buruk, program deradikalisasi tidak menguntungkan siapa pun — baik partisipan, pemerintah, maupun masyarakat — dan dapat melakukan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan.

Tiga peserta dalam program mulai menyebut diri mereka "the rigorist Salafist gang" dan yang lain kemudian ditangkap karena kejahatan "permintaan maaf untuk terorisme."

Menurut Elena Souris dan Spandana Singh, argumen mereka mengatakan: Pemerintah Prancis melakukan dua kesalahan utama.

Pertama, meskipun pusat tersebut ingin mengatasi akar penyebab radikalisasi dan memiliki staf psikolog, model tersebut terlalu banyak berfokus pada ideologi dengan mencoba mengganti ekstremisme dengan “kontra-kebenaran” sekuler. 

Kedua, program ini mempromosikan identitas nasionalis Barat di atas identitas Islam, suatu langkah yang sangat penuh perhatian di Prancis, mengingat ketegangan negara yang sudah lama ada di sekitar laïcité, prinsip hukum yang mempromosikan sekularisme dalam teori tetapi, bagi banyak kritikus, tampaknya lebih fokus pada pembatasan Kemampuan Muslim untuk menjalankan Islam atau memeluk islam.

Pada akhirnya, kesalahan-kesalahan ini tidak hanya membuat deradikalisasi menjadi tidak mungkin, mereka juga merupakan kebijakan yang buruk.

Namun tidak ada yang salah untuk menguji apakah ada bias politik atau ideologis dalam pendidikan tinggi Indonesia. Kita bisa mengevaluasi kritik universitas mengenai politik negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sebagaimana yang ada di Amerika Serikat.

Yang menjadi fokus penelitian juga mengenai bias politik dan ideologis karena dianggap terlalu kiri atau liberal dan untuk melakukan tugas dengan cara yang sistematis, berpikiran adil, dan non-partisan.(Closed Minds Politics And Ideology In American Universities, Bruce L. R. Smith, Jeremy D. Mayer, A. Fritschler, 2008).

Lantas akhir kata menurut saya tidak masalah dan silakan saja masuk ke dalam kampus namun dengan catatan jika ada kritik terhadap ideologi (bukan kebijakan loh ya), itu sendiri harus dimaknai sebagai hal yang lumrah di dunia akademik sebagaimana berbicara mengenai intoleransi dan meningkatkan nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. 

Sebagai sapiens kita tidak terkekang oleh sistem kaku karena secara mandiri mekanisme otak kita mengatur kita untuk dapat berpikir dan akan terus berkembang mengenai apa yang akan dilakukan sekarang dan 20 tahun yang akan datang.

Formulir Isian