Siapa Agni? Nama yang
belakangan ini sempat viral di twitter meski pun tak se-viral dengan hastag-hastag yang
berbau isu politik, tapi tak menjadikan masalah ini menjadi kerdil dan justru
kita bisa buka satu persatu kemudian melihatnya secara kritis.
Kasus Agni merupakan satu di
antara banyak kasus yang menghebohkan dunia akademis kita yaitu mengenai pelecehan
seksual, pemerkosaan, kekerasan terhadap fisik maupun psikis perempuan dan
struktur pikiran patriarki yang masih menyusup dalam kehidupan kampus.
Nama Agni menjadi tak asing
karena ia seorang mahasiswi di universitas ternama, ada banyak yang mengatakan
ia menjadi viral karena nama universitas tempat sekarang ia menempuh
pendidikannya tapi bukan itu yang penting.
Saya mengutip dari satu di
antara berita yang bisa dibaca dan diakses di sini: (Menguak 7 Fakta Pelecehan Mahasiswi UGM, Kronologi Pemerkosaan, Respons Kampus GakDisangka). Dalam tulisan ini saya fokus dari awal mengenai kronologi,
keterbatasan Hukum Pidana mengenai kasus ini, petisi yang dibuat
untuk kasus ini, dan mengenai teori hukum tentang feminism.
Kronologi
Dimulai dari Badan
Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM Yogyakarta yang menuliskan
laporan terkait tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang mahasiswa
UGM. Dari laporan tersebut, menyatakan bahwa seorang mahasiswi UGM, Agni (bukan
nama sebenarnya) yang melakukan KKN di Pulau Seram, Maluku, mengalami pelecehan
seksual dari rekan sesama kampus yang berinisial HS.
Peristiwa ini terjadi pada
Juni 2017. Laporan tersebut menyebutkan, HS yang melakukan kekerasan seksual
pada 30 Juni 2017 di sebuah pondokan. Setelah kejadian malam itu, korban
mengaku menghubungi rekannya di Yogyakarta dan kemudian menyarankan melapor ke
beberapa pihak terkait.
Laporan itu ditanggapi
dengan datangnya beberapa utusan dilanjutkan dengan sepekan setelah itu HS
ditarik dari lokasi kejadian pada 16 Juli 2017. Pertengahan Desember 2017,
korban memberanikan diri melaporkan ke sejumlah pejabat di lingkup FISIPOL
hingga akhirnya laporan masuk ke rektorat. Agni yang hendak mengungkap terkait
pelecehan yang dialaminya justru tidak mendapat pembelaan.
Bahkan ia mendapat nilai C
pada mata kuliah KKN. Pihak kampus juga tidak berbuat apa-apa kepada HS. Alasan
tidak dapat mengeluarkan HS dari kampus lantaran harus melalui prosedur
pengajuan aduan ke komite etik UGM. Kasus pelecehan seksual yang dialami Agni
dianggap bukan pelanggaran berat.
Masih di berita yang sama,
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menanggapi laporan dugaan tindak
pelecehan seksual yang melibatkan mahasiswanya. Kabid Humas dan Protokol UGM,
Iva Ariani, mengatakan UGM akan membawa kasus ini ke ranah hukum.
"Tim investigasi juga
telah memberikan rekomendasi ke pimpinan universitas." jelas Iva, Selasa
(06/11/2018) malam. Rekomendasi yang dimaksud Iva adalah evaluasi nilai KKN,
pemberian hukuman serta pemberian konseling psikologi. Ia juga memastikan bahwa
UGM akan melindungi korban dan memastikan ia mendapatkan keadilan.
"Jika terbukti
melakukan tindakan tersebut (pelaku), maka akan diberikan sanksi tegas secara
akademik," lanjut Iva.
Dekan FISIPOL UGM Erwan Agus
Purwanto menyatakan investigasi kasus pelecehan seksual mahasiswinya saat KKN
di Maluku selesai dilakukan. Hal tersebut ia sampaikan saat ditemui Tribunjogja.com di
Gedung FISIPOL UGM.
"Ya prosesnya sudah
selesai 20 Juli 2018. Hasilnya juga sudah diserahkan ke universitas."
ungkap Erwan, Rabu (07/11/2018). Erwan menuturkan, pihaknya menerima laporan
kasus tersebut pada Desember 2017. Setelahnya, surat resmi tentang laporan tersebut
ditujukan ke rektor pada 22 Desember. Rektor lalu mengeluarkan Surat Keputusan
untuk membentuk tim investigasi yang beranggotakan tiga orang. Mereka berasal
dari FISIPOL, Fakultas Teknik, dan Fakultas Psikologi UGM.
Berdasarkan hasil
investigasi, FISIPOL melihat ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu sanksi
bagi pelaku, perlindungan bagi penyintas, serta perbaikan tata kelola KKN,
terutama secara prosedural.
Walau hasilnya sudah
diserahkan ke pihak universitas, Erwan menyatakan belum ada kelanjutan yang
signifikan tentang penyelesaian kasus ini. "Hingga sekarang masih menunggu
implementasi dari rekomendasi kami." ungkap Erwan.
Petisi Membela Agni
Sebuah petisi online muncul
untuk menuntut keadilan bagi penyintas dan penuntasan dugaan pemerkosaan di
lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM). Petisi ini ditujukan kepada UGM
dengan tajuk "Usut tuntas kasus pemerkosaan KKN UGM" dan digagas oleh
Admin Draft SMS Mahasiswa (DSM) pada Selasa (6/11/2018) sore.
Dalam keterangan yang
diunggah dalam petisi itu, dituliskan sejumlah tuntutan yang dialamatkan kepada
pihak kampus UGM untuk memberikan sanksi yang sesuai (akademik maupun non
akademik) dengan peraturan rektor dan Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi terhadap orang yang diduga pelaku pemerkosaan.
Saat dihubungi Kompas.com pada
Rabu pagi, pengunggah petisi, admin DSM, memberikan penjelasan mengapa ia
membuat petisi itu. "Ada bagian-bagian yang mengganggu saya, contohnya
salah satu pejabat UGM menganalogikan korban sebagai ikan asin yang
mancing-mancing kucing." ucap admin yang enggan disebutkan namanya itu.
Selain itu, menurut dia,
kasus kekerasan tidak hanya terjadi di UGM, tetapi juga banyak di kampus-kampus
terkemuka lain. Hanya saja para penyintas tidak membuka suara. Jikapun ada,
suaranya akan dibungkam oleh pihak kampus dengan alasan "nama baik".
Meskipun pihak UGM sudah
menyatakan sikap dengan memberikan perlindungan kepada penyintas dan akan
membawa kasus ini ke ke ranah hukum, namun ganjaran ini dinilai belum cukup.
Sebab, secara akademik orang yang diduga sebagai pelaku masih berstatus
mahasiswa dan akan segera diwisuda dalam waktu dekat.
"Ya kalaupun pelaku
diluluskan, akan melahirkan opini baru, generalisasi terhadap mahasiswa UGM di
kalangan masyarakat. 'UGM, oh yang mahasiswanya cabul itu?’" kata Admin
DSM.
Ia pun berharap terangkatnya
kasus ini ke permukaan menjadi pemacu bagi kampus-kampus lain yang masih
mengabaikan kasus pelecehan seksual atau pemerkosaan seperti ini sebagai
sesuatu yang ringan.
"Pengalaman saya,
laporan mengenai pencabulan ini sangat rumit, susah dan hampir 90 persen
kasusnya berakhir dengan jalan damai. Korbannya rusak, pelaku berkeliaran. Saya
harap ada regulasi peraturan di Indonesia mengenai tindak pelecehan." ujar
Admin DSM.
Menurut dia, skandal
pelecehan seksual terjadi di banyak kampus akan tetapi pembungkaman masih
diterapkan.
Keterbatasan Hukum Pidana
Dalam Kasus Kesusilaan
Mari kita buka satu persatu.
Pertama karena Indonesia negara yang berdasarkan hukum sebagaimana pada Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, maka
mari kita lihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam kasus ini.
Apa yang dimaksud dengan
kesusilaan, KUHP bahkan tidak memberikan penjelasan atau batasan tentang
pengertian kesusilaan, sehingga dalam praktiknya mengalami kesulitan menentukan
perbuatan yang dianggap melanggar kesusilaan terutama dalam penerapan pasal 281
KUHP.
Secara etimologis, istilah
kesusilaan berasal dari kata “su” dan “sila” (sansekerta) yang berarti prinsip,
dasar, aturan hidup (sila) yang baik (su). Dengan demikian maka semua aturan
hidup yang baik, baik berasal dari aturan sopan santun, moral, agama atau adat
isitiadat maupun yang berdasar asas kepantasan, termasuk di dalam pengertian
kesusilaan.
Pengertian kesusilaan
sebagaimana disebutkan di atas, dalam masyarakat ternyata mendapatkan
penyempitan arti. Sehingga pada umumnya kata kesusilaan selalu
dihubung-hubungkan dengan hal-hal yang berbau seks saja.
Demikian juga apabila kita
menyebutkan delik susila maka asosiasi masyarakat pastilah pada
perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran di bidang
seksual seperti perzinaan, pelacuran, homoseksual atau perbuatan lain yang “sex
related” sifatnya seperti perbuatan cabul, aborsi dan lain-lain. (Edi Setiadi,
Perlindungan Hukum Bagi Wanita Dari Tindakan Kekerasan, 343-344, 2001) (Sumber Kutipan Baca Di sini)
Menurut Oemar Senoadji dalam
bukunya Hukum Acara (Pidana) Dalam Prospeksi mengatakan apabila
diperhatikan, dalam KUHP perumusan kesusilaan diambil dari pengertian
sosiologis dengan demikian KUHP mengadopsi pandangan masyarakat tentang
pengertian kesusilaan.
Hal ini sesuai dengan
pendapat Pompe, yang mengartikan kesusilaan tidak terbatas pada bidang seksual
saja tetapi termasuk di dalamnya apa yang dinamakan aturan-aturan yang baik dan
patut, yang dimiliki dan berdasarkan kesadaran hukum dari masyarakat sebagai
sumber hukum yang menunjukan adanya suatu dependensi dari sifat bangsa atau
karakter nasional.
Dari pengertian ini nampak
bahwa Pompe mengartikan kesusilaan dalam arti luas yang menyangkut keseluruhan
aturan hidup yang baik dan patuh yang bersumber dari sifat/karakter bangsa
tersebut.
Berbeda dengan pendapat Van
Bemelen yang membatasi pada delik-delik yang berhubungan dengan pelanggaran-pelanggaran
seksual saja. Penyempitan pengertian kesusilaan sebagaimana disebutkan di atas
membawa konsekuensi terhadap hukum pidana khususnya bab tentang kejahatan
terhadap kesusilaan dan terhadap ketentuan-ketentuan delik susila yang
menyangkut kejahatan seksual.
Mari kita lihat ketentuan
yang berhubungan dengan kejahatan seksual yakni pasal 285, 286, 287, 296 dan
297 KUHP terjadi penyempitan atau pengecilan dan obyektifikasi perempuan dimana
sosok perempuan tidak dipandang sebagai subyek dan bahkan direduksi
eksistensinya hanya sebatas bagian tertentu dari tubuhnya (vagina-nya saja) dan
disamakan kualifikasinya dengan anak laki-laki yang belum dewasa.
Kekerasan terhadap wanita
yang paling banyak terjadi adalah perkosaan, yang kontruksi hukumnya dapat
dilihat dalam buku II bab XIV KUHP tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan.
Dilihat dari sejarahnya pengaturan perkosaan dalam hukum sudah ada sejak lama.
Secara tradisional perkosaan
telah didefinisikan dari sudut pandang laki-laki berdasarkan seksualitas
laki-laki. Perumusan pasal 285, 286, 287, 297 tersebut menggambarkan dengan
jelas yang mana menurut Stevi Jackson, dalam Women Studies:
Standar nilai/moral yang
dipakai oleh masyarakat Indonesia dalam memperlakukan wanita selalu dilihat
dari sudut pandang laki-laki (dalam konteks ini), oleh karena itu perlu
dilakukan suatu analisa secara mendalam terhadap suatu isu yang berkaitan
dengan konteks dimana kaum perempuan dan perilaku perempuan secara sosial
didefinisikan dan dikontrol yang diatur dalam suatu kebijakan, aturan, sosial
budaya dan politik dalam suatu negara.
Meskipun memang ada pikiran
yang mewacanakan untuk "kekerasan seksual" diatur tersendiri sebagai
undang-undang khusus (lex specialis) di luar pengaturan KUHP? Artinya, delik
"kejahatan seksual" akan dirumuskan berlainan dengan definisi
kejahatan dalam KUHP menjadi di luar kodifikasi. Sayangnya UU tersebut ditolak
kemarin oleh satu di antara partai politik di parlemen.
Selain mengenai keterbatasan
KUHP dan penyempitan arti dari kesusilaan dalam KUHP juga tidak dikenal istilah
pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur
dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP.
Mengutip dari buku KUHP serta Komentar-komentarnya karya R. Soesilo, term dari perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Dengan demikian, unsur penting dari yang kita sebut dengan “pelecehan seksual”
adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian
yang bersifat seksual.
Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut
budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu
tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa
dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Silakan baca untuk lebih jelas: (Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual).
Meski pun ada beberapa yang
menggunakan istilah lain untuk pelecehan seksual, dalam buku Sexual
Harassment Know Your Rights, oleh Martin Eskenazi and David Gallen, mereka
menyebut ini dengan istilah unwelcome attention yang secara yuridis
oleh Deborah L.Rhode didefinisikan sebagai imposition of unwelcome
sexual demand or the creation of sexually offensive environment.
Pada tahun 1970-an di
Amerika Serikat, perempuan mulai menuntut majikan atau atasan mereka dengan
menggunakan the 1964 Civil Rights Act (Undang-Undang Hak Sipil tahun
1964). Perempuan menuntut diakhirinya diskriminasi (“put out or get out”),
dan to the maintenance of hostile work (di tempat kerja) atau
lingkungan belajar yang menciptakan tekanan seksual (sexual pressure)
yang berkesinambungan.
Saat ini kedua jenis tekanan
tersebut dianggap tidak dapat diterima di sebagian besar institusi di Amerika,
dan baik oleh karyawan maupun majikan (dan mahasiswa dan profesor, dll.) Mereka
menganggap siapa pun memiliki beberapa perasaan akan hal ini.
Menurut Marty
Klein, Ph.D., hukum pelecehan seksual tidak pernah dirancang untuk
melindungi wanita dari hal yang sekadar membuatnya merasa tidak
nyaman. Menurutnya, in a typical workday, men and women alike face
many sources of discomfort: atheists face clerks wearing crosses; able-bodied
people face colleagues in wheelchairs; Fundamentalist Muslims and Jews face
professors dressed with arms and legs uncovered.
Pada hari-hari kerja
(keseharian) secara khas, pria dan wanita sama-sama menghadapi banyak sumber
ketidaknyamanan seperti ateis yang berhadapan dengan panitera yang mengenakan
salib (di pengadilan); orang-orang yang berbadan sehat menghadapi kolega mereka
yang berada di kursi roda (di kantor); Muslim fundamentalis dan seorang Yahudi
berhadapan dengan profesor yang berpakaian dengan tangan dan kaki terbuka (di
ruang kelas).
Menurutnya lagi hukum
dirancang untuk sekadar menciptakan lapangan peluang (field of opportunity)
yang setara bukan pengalaman emosional (emotional experience). Itu tidak
mengharuskan siapa pun untuk menjadi seorang yang dapat membaca pikiran, itu
tidak membatalkan ketidakpastian interaksi sosial yang normal dan itu tidak
memerlukan keterampilan sosial siapa pun untuk sehalus sutra. And
Occasionally feeling offended is still considered part of the cost of being out
in the world.
Lantas apa yang dialami jika
sekadar merasa tidak nyaman itu? Menurutnya itu bukan Pelecehan Seksual, tetapi
perhatian seksual yang tidak diinginkan (Unwanted Sexual Attention).
Sejalan dengan pikiran Martin Eskenazi and David Gallen.
Ketika wanita menjelaskan
bahwa hal tersebut tidak diinginkan olehnya, perhatian otomatis hilang. Itu
seharusnya menjadi akhir dari cerita. Tetapi jika si pengirim undangan seksual
tersebut mulai tidak ramah, menekan, dan membuat si wanita merasa tidak nyaman
ini dapat dikatakan wanita mulai merasa unwanted sexual attention.
Selain perasaan tidak nyaman
tadi kemudian ditambah dengan mulai menyentuh bagian tubuh dari si perempuan
ini sudah menjadi tahapan intimidation secara fisik dan psikis, tentu
ada beban psikologis yang kemudian mengakibatkan adanya sexual pressure dan
mulai ada offensive sexual advance hingga terjadinya sexual
abuse dan banyak lagi.
Tahapan-tahapan dan term tersebut
tidak diperhatikan oleh hukum dan hukum belum mampu menyentuh sampai ke sana.
Petisi? Apa Kegunaan Petisi?
Mengenai petisi online yang
muncul untuk menuntut keadilan bagi penyintas Agni kemarin dan penuntasan
dugaan pemerkosaan di lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menimpa si
penyintas. Pertama kali dalam otak saya muncul pertanyaan apa fungsi petisi itu
sendiri?
Saya merasa petisi itu
hampir tidak ada gunanya untuk beberapa atau suatu kasus tertentu (tidak
berlaku general). Tapi anehnya biasanya itu bekerja untuk kasus lain, kenapa
demikian?
Petisi menurut Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (disingkat UU HAM)
sebagai media untuk menyuara hak bagi setiap orang yang dijamin oleh
undang-undang namun ketentuan batas target untuk mengikutkan diri dalam petisi
tidak ada dan sesuai dengan ketentuan layanan yang minta atau punya target
harus sekian.
Bukan tanpa alasan. Sedikit
tidaknya mari kita buka dulu mengenai petisi. Apa itu?? Petisi itu sederhananya
permohonan. Permohonan seperti apa?? Berupa permintaan untuk melakukan sesuatu,
yang paling sering ditujukan kepada pejabat pemerintah atau badan publik, yang
intinya tetap pemerintah.
Lantas petisi itu ada untuk
meminta agar pemerintah mengambil tindakan terhadap suatu hal atau suatu isu
tertentu. Biasanya, hal ini ditandatangani oleh beberapa orang untuk
menunjukkan bahwa sekelompok besar orang mendukung permintaan yang terdapat
dalam dokumen yang dipetisikan.
Meskipun di era serba
digital dan internet sekarang ada beberapa situs yang menawarkan layanan petisi
seperti https://www.change.org/id/petisi situs
web petisi yang dioperasikan oleh http://Change.org,
Inc., sebuah Perusahaan bersertifikat B Amerika yang diklaim memiliki lebih
dari 100 juta pemakai dan mentuan rumahi kampanye-kampanye yang disponsori oleh
organisasi-organisasi besar dan lain sebagainya.
Layanan inilah yang biasa
digunakan oleh sebagian orang secara luas di Indonesia untuk membuat petisi
atau permohonan dengan mengumpulkan banyak suara yang ikut atau berpartisipasi
menandatanganinya, namun kembali ke pertanyaan saya tadi apa sebenarnya fungsi
petisi?
Jawabannya jelas yaitu ada
kekuatan negara untuk menjamin hak warga negaranya. Itu poinnya. Tapi sekarang
pertanyaannya adakah kekuatan hukum yang mengikat dan menjamin hak dasar setiap
warga negara itu melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD
NRI) 1945, pasti akan menjawab merujuk pada pasal 28 UUD NRI 1945.
Tapi spesifiknya adakah
dalam UUD NRI 1945 yang menyebutkan secara jelas petisi atau jenis yang serupa
atau memang itu adalah apa yang disebut dengan petisi. Sama sekali tidak ada.
Pasal 28 itu hanya
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan,
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang dalam hal ini pasal 44
Undang-Undang HAM (UU HAM). Namun meskipun demikian tak ada aturan yang
mewajibkan pemerintah Indonesia merespon petisi!
Petisi bisa saja dibuat,
okelah karena memang ada aturannya yang mengatur tapi jangan aneh dan heran
jika ada yang mempertanyakan efektif tidaknya suatu petisi karena memang tidak
ada aturan yang benar-benar ada untuk menampung petisi serta tidak ada
kewajiban pemerintah untuk meresponnya. Jika urgent atau memang biasanya issues yang
memang besar tentu itu perkara lain.
Ini berbeda jika kita lihat
di US. Klausul permohonan atau petisi itu ada dalam amandemen pertama
konstitusi AS dimana negara menjamin hak rakyat "untuk mengajukan petisi
kepada Pemerintah untuk mengganti kerugian."
Hak untuk mengajukan petisi
telah diadakan memasukkan hak untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap
pemerintah. Hak untuk mengajukan petisi dianggap sebagai hal yang paling
mendasar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, sebagai sarana untuk
melindungi partisipasi publik dalam pemerintahan atau cara publik untuk
mengawasi dan mengritik kinerja pemerintahan dan itu sebenarnya fungsi dari
petisi.
Secara historis, hak
mengenai petisi itu dapat ditelusuri kembali ke dokumen dalam bahasa Inggris
seperti Magna Carta yang secara implisit menegaskan hak, dan Bill of Rights
1689, yang secara eksplisit menyatakan "hak subyek untuk mengajukan petisi
kepada raja".
Lalu pasti akan ada yang
bingung dan kembali berkomentar. Tapi kan UGM itu bukan pemerintah. Tentu saja
dia bagian dari pemerintah atau badan publik yang bisa dikritik dan UGM itu di
bawah seorang rektor. Pemimpin administrasi yang bertanggung jawab terhadap
tugasnya baik itu pada sivitas akademika juga pada menteri yang merupakan anak
buah presiden.
Feminist Legal Theory
Satu di antara tokoh Feminist yang
saya kagumi di tanah air adalah Rocky
Gerung beliau pernah mengatakan dengan tajam fenomena ini
melalui feminist legal theory approach. (BacaEtika Feminis, Jurnal Perempuan, 2015).
Menurutnya melalui
pendekatan ini dapat menujukkan sebetulnya ada urgensi untuk merevisi kurikulum
dalam upaya merelevankannya dengan tuntutan asas keadilan terhadap perempuan.
Karena adanya upaya filsafat feminis untuk menghasilkan perspektif kritis dalam
membaca "peristiwa hukum", khususnya saat kita melihat dari
perlindungan hukumnya saja dilihat dari perspektif partriarkis.
Rocky berpendapat sekarang
kita masukdalam hal nilai partriarkis yang ada dalam suatu kebijakan publik
dalam suatu penyusunan suatu aturan pidana dalam konteks ini. Anda tahu bahwa
di negeri ini setiap 2 jam terjadi 3 kekerasan seksual pada perempuan dan hukum
tak mampu memprosesnya.
Artinya, ada masalah
mendasar dalam sistem hukum sehingga perlu terobosan paradigma. Terutama dalam
segi pembuktian, persyaratan-persyaratan hukum acara tak mampu memahami
konstruksi peristiwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap integritas
tubuh dan seluruh psikologi perempuan. Rumusan konvensional tentang kekerasan
seksual, selalu sekadar dilekatkan pada segi "kesusilaan" konstruksi
patriarkis sebagai latar kekerasan seksual itu yang tak diperhatikan dan
dibedah.
Kritik teori hukum feminis
adalah bahwa cara membaca hukum telah mengabaikan hal paling mendasar, yaitu
relasi kuasa dari kejahatan. Begini: bila seorang laki-laki menyerang seorang
laki-laki, maka si penyerang akan menghitung korbannya sebagai "mampu
menyerang balik".
Tetapi bila korbannya adalah
perempuan, maka si laki-laki penyerang akan menganggap bahwa korbannya
"tak mampu menyerang balik". Jadi, dari awal telah terjadi
ketimpangan kekuasaan. Ada surplus arogansi pada laki-laki dan defisit moril
pada perempuan, karena ia mengadopsi pikiran umum bahwa ia memang tak berdaya.
Artinya, dalam serangan seksual, selalu ada "pretext" kekuasaan.
Mengusulkan sebuah "lex
specialis" untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual adalah upaya
untuk mengubah paradigma hukum yang bias gender. Itu seharusnya menjadi urusan
akademis yang serius dan konsisten.
Oleh sebab itu Rocky
berpendapat di sinilah peran kampus dan hadir sebagai solusi untuk memkritisi
kebijakan tersebut. Kampus diminta untuk menghasilkan argumen filosofis yang
kuat. Tetapi hambatan terbesar dalam upaya pembaruan hukum adalah sikap palsu
di kalangan akademisi.
Mereka bicara tentang
keadilan bagi korban, tetapi pada saat yang sama menampilkan sikap patriarkis
menindas koleganya. Patriarkisme dapat dipraktikkan siapa saja! Feminisme memang
bukan sekadar soal kecerdasan akademis. Feminisme pertama-tama adalah soal
kecerdasan etis.
Karena selama ini hampir di
setiap aturan nilai-nilai patriarkis selalu menjebak stigma dimana peran dan
tolak ukur akan kebenaran selalu dinilai dan benar dari point of
view dari laki-laki, hukum tidak menjangkau itu.
Hingga di akhir cerita Agni
ini, sebetulnya siapa Agni?? Kita dapat mengatakan bahwa der name ist
ein zeichen, the name is a sign, the name speaks for itself. Agni
adalah bentuk dari gerakan perlawanan untuk mengganti kata "damai"
yang dianggap menghina perjuangan melawan injustice terhadap tubuh
perempuan, dari Agni, sebuah nama yang berbicara untuk dirinya sendiri dan
tanda untuk menggerakkan setiap ketidakadilan yang siapa saja di luar sana
rasakan!
Agni is A Great Notion
Injustice: a great notion about to speak up injustice and resistance
movements against the patriarchal system.