“History has been
written by the victors” Jika
diterjemahkan artinya, “Sejarah ditulis oleh para pemenang.”
Inilah adagium yang
konon pertama kali dikemukakan oleh Winston Churchill (ada pula yang
menyatakan berasal dari Napoleon) yang mendominasi asersi modern dan
post-modern mengenai natur dari sejarah.
Dalam The Da Vinci
Code (seri Robert Langdon, #2) anda dapat menemukan pernyataan yang
secara persis menggambarkan maksud penggunaan adagium di atas. Untuk jelasnya,
saya akan mengutipnya sebagai berikut:
“History is always written by the winners. When two cultures clash, the loser is obliterated, and the winner writes the history books-books which glorify their own cause and disparage the conquered foe. As Napoleon once said, 'What is history, but a fable agreed upon?”[1]
“…sejarah selalu ditulis oleh pemenang. Ketika dua kebudayaan berbenturan, yang kalah dihapuskan dan yang menang menulis buku-buku sejarah. Buku yang memuliakan perjuangan mereka sendiri dan meremehkan musuh yang tertaklukkan. Seperti yang pernah dikatakan oleh Napoleon, “apakah sejarah, selain dongeng yang disetujui?’ Berdasarkan sifatnya, sejarah selalu merupakan catatan dari satu sisi.”[2]
Ada dua hal yang bisa
dicatat terkait isi dari kutipan di atas maupun tendensi penulisan TDVC secara
umum yang berguna untuk menggambarkan maksud penggunaan adagium di atas.
Pertama, ada bias yang amat disengaja dalam tulisan-tulisan yang mewakili para
“pemenang” dan dengan demikian tulisan-tulisan sejarah tersebut tidak
mengungkapkan fakta sejarah yang sebenarnya; dan kedua, anda perlu berada pula
di pihak para “losers” untuk mendapatkan sudut pandang historis yang lebih
murni.
Intinya, semangat di
balik adagium di atas adalah semangat skeptisisme dan revisionisme. Ia
membangun mosi “tidak percaya” terhadap sumber-sumber sejarah yang selama ini
dijadikan acuan dan menggantikannya dengan sumber-sumber alternatif. Anda
dapat membaca entri mengenai historiografi dalam New Dictionary of the
History of Idea yang ditulis oleh Daniel Woolf.
Entri sepanjang 54
halaman ini (termasuk bibliografinya), berisi sketsa ringkas mengenai seluruh
tulisan sejarah penting yang mencakup penulisan sejarah pada periode 2000 tahun
sebelum Masehi dan 2000 tahun sesudah Masehi.
Di dalamnya terdapat
begitu banyak sub-genre historiografi termasuk juga tendensi penulisan sejarah
dalam sejumlah segmen budaya (Barat, Islam, China, Korea, Jepang, dan India).
Woolf mengakhiri entri ini dengan menyimpulkan bahwa memang ada hubungan yang
sangat dekat antara pengaruh para pengusa dengan penulisan sejarah. Tetapi,
penulisan sejarah tidak selalu dilakukan oleh para “pemenang”.
Sebaliknya, penulisan
sejarah juga dilakukan oleh para “losers”, mis. Tucydides, Felipe Guaman Poma
de Ayala dari India, penyair dan sejarahwan bernama John Milton, dan para
pejuang revolusioner yang gagal meraih tujuan perjuangan mereka). Bahkan
sejarah tidak selalu ditulis oleh para “pemenang.”[3]
Contoh
lainnya, Anne Frank, penulis Het Achterhuis pada tahun 1947,
diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Diary of a Young Girl. Seorang
losers yang merupakan penyintas yang selamat dari tragedi
Holocaust. Namun, sejarah ditulis bukan hanya oleh pemenang
atau para losers, tapi oleh mereka yang memelajariya.
Di Indonesia bentuk
propagada yang begitu kental di era Perang Dingin, munculya Partai Politik
yang ideologinya dan aktivitasya dilarang sampai saat ini, berdasarkan TAP
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 TAHUN 1966 Mengeai Pembubaran dan Pelarangan PKI juga
tumbuhnya ideologi Marxisme, Leninisme, dan Komunisme.
Karena di masa itu kebenaran
ditekan oleh pihak penguasa, lalu muncul adagium tadi sejarah ditulis oleh
pemenang, yaitu rezim orde baru kala itu Soeharto. Ini logika yang salah.
Kalau ada baca buku,
Mujiburrahman mengenai PKI maka pandangan anda terhadap sejarah yang ada
pelajari dibangku sekolah akan begitu kontras, juga buku Robert Cribb,
dalam bukunya The Indonesian Marxist tradition, juga buku Prof. John
Roosa, atau Herbert Feith dalam
bukunya “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965.” dan Ben
Anderson, muncul pertanyaan apa mereka pemenang? Bukan.
Mereka adalah orang
yang mengedepan rasionalitas dan logic untuk melihat bahwa ada yang salah
dengan rezim saat itu, ini juga erat kaitannya dengan kematian Bung Karno
seperti yang ditulis dalam buku Indonesia X-File oleh dr.
Mun'im.
Kalau kita kembali
menilik ke belakang, pada abad kegelapan (The dark and middle ages) dulu
kebenaran itu dipegang atau diucapkan benar oleh para pemuka agama, yang
mana pada zaman itu tumbuh dan berkembang yang namanya feodalisme, yang
akhirnya saat itu bangsa Eropa yang kita kenal dan dianggap
memiliki budaya yang lebih dari bangsa lain dan juga peradaban menjadi
kebingungan dan hilang kepercayaan terhadap gereja dan juga konsep
Ketuhanan hingga muncul suatu konsep yang disebut dengan rasionalisme meskipun
beberapa abad setelah abad kegelapan ini. Paham rasionalisme ini terus
berlanjut hingga masuk ke sejarah filsafat modern, idealisme Jerman, bahkan
hingga filsuf pendiri fenomenologi, Edmund Husserl. Husserl sendiri melakukan
radikalisasi atas konsep cogito Descartes.
Di zaman
ini pula yang disebut dengan zaman renaissance, dimana mulai
muncul penentuan kembali kepribadian manusi yang juga menimbulkan
individualisme atau bibit dari liberalisme.
Sejarah bisa ditulis
siapa saja, tapi biasanya sejarah akan dipengaruhi justru oleh para budak atau
mereka yang secara historis adalah orang yang kalah.
[1] Dan Brown, “The Da Vinci Code:
Featuring Robert Langdon”, (US: Doubleday, New York City, United States, 2003),
P. 256.
[2] Nararya, 2014, Sejarah Selalu
Ditulis oleh Para Pemenang? available url : https://www.kompasiana.com/nararya1979/5529f1c6f17e614e3ed62434/sejarah-selalu-ditulis-oleh-para-pemenang
[3] Nanie Karnia, 2017, The Da Vinci
Code & Angles and Demons, available url: https://naniekania.wordpress.com/2017/11/05/the-da-vinci-code/