Masalah dan persoalaan 'perasaan' dan afeksi (rasa sayang, cinta kasih) yang dihasilkan oleh kimia dalam otak yaitu senyawa Oxytocin kemudian juga pada enzim testosterone, secara biologis itu hal yang menyehatkan pikiran.
Siddhartha Mukherjee dalam
bukunya The Gene: An Intimate History, ia menjelaskan bagaimana
peran pikiran yang baik atau sehat yang sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya
kanker pada manusia.
Siddhartha ini ahli
onkologi, dalam buku yang ia tulis mengulas mengenai bagaimana peran gen
dalam croos cutting / lintas sektor sinematik dari
pribadi dan kajian ilmiah yang menyusun sejarah manusia dalam
onkologi atau ilmu yang memelajari mengenai kanker.
Jadi dia hubungkan bagaimana
peran gen dalam mengaktifkan dan noaktifkan kanker :) jadi gen itu ada
hubungannya dengan pikiran sehat manusia.
Manusia yang selalu
memikirkan hal-hal yang baik, maka pertumbuhan dan reaksi gen yang bekerja akan
menghasilkan gen yang baik dan menonaktifkan gene (gen) yang buruk.
Otoritas yang ada secara
ontologis politis yang kita sebut dengan Tuhan memberikan manusia kekuasaan
sepenuh terhadap perkembangan dan pertumbuhan akal dan pikirannya. Untuk apa?
Untuk menghasilkan
suatu kehidupan (dalam arti sebenar-benarnya dari benar). Manusia
bebas mencintai dan menyukai siapa saja tanpa ada yang menghalanginya, karena
cinta dibicarakan di luar dari permainan logika atau hal yang masuk akal.
Meski mekanisme nya bisa
dijelaskan secara sistematis. Jadi dalilnya, di setiap ada diskusi dan jalan
percakapan mengenai cinta itu selalu bisa uji, tapi bukan berdasarkan
setia atau tidaknya seorang manusia tapi seberapa besar derita atau luka yang
dia terima.
Rasa tak bisa cegah agar
tidak terluka. Justru harus terluka, maka sensansi manusia untuk mencinta
semakin membuka peluang baru untuk karsa. Makanya ada konsep dewasa atau
kedewasaan berpikir.
Harus kita pahami bahwa
setiap personal masing-masing makhluk yang berpikir dan hidup sebagaimana
dirinya sendiri.
Boleh ada intervensi tapi
sebatas jika ada konflik mengenai kepentingan masing-masing dari mereka. Tidak
lebih. Jika ada personal yang merasa keberatan akan pikiran dari pilihan
masuk akal dalam mencinta lawanlah dengan argumen logic, namun jika ada
paksaan otoritas lain yang menganggu pikiran sehat itu artinya orang itu dungu.
Abaikan!
Memang sulit untuk
memberikan atau menyampaikan alasan yang rasional dalam suatu kondisi irasional
tapi sekali lagi justru itu yang perlu dilakukan, karena itulah peran dari
logika, untuk apa untuk mengoreksi si luka bukan si cinta.
Terkadang dalam cinta, kita
harus siap memutuskan sesuatu dengan cara yang konyol, kadang cenderung kuno
dan klasik, tapi muncul pertanyaan adakah cari selain itu yang terbaik?
Akhir kata, cinta adalah
bagian termurni dari pikiran sehat manusia untuk mengakifkan kehidupan membawa
perubahan, di dalamnya ada harapan, tidak hanya berbicara mengenai kebahagian
tapi juga memahami penderitaan. Cinta tak terikat pada suatu syarat sebut
saja itu orientasi seksual.
Tak semua cinta ada karena dorongan seks tapi umumnya kondisi fisiologis itu tak dapat dipungkiri. Tubuh dari cinta yang disebut dengan hasrat dan gairah itu komprehensif, tak fragmentaris.