Rocky Gerung: Reformasi yang Tidak Tuntas Via: rilis.id |
Beradu slogan adalah satu-satunya kegiatan produktif perpolitikan kita sekarang ini. Retorika memang menjadi kegemaran politik bangsa ini. Tetapi yang berlangsung sekarang adalah retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal, murah, dan kosong.
Pertandingan argumen di parlemen lebih banyak unsur demagogisnya, ketimbang pedagogis. Produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat.
Oportunisme kekuasaan jauh mendahului normativisme demokrasi: politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Kualitas demokrasi memang ditentukan oleh kualitas politisi.
Reformasi menghasilkan lembaga-lembaga politik modern, tetapi etika politiknya masih amat terbelakang.
l
l l
Sesungguhnya, sejarah politik kita pernah memiliki masa ketika retorika diolah dalam kualitas. Periode yang disebut ”demokrasi liberal” 1950-an itu adalah sebuah masa ketika retorika politik diukur berdasarkan mutu argumen di parlemen dan bukan jumlah spanduk partai di jalanan.
Periode itu adalah masa ketika politik bekerja dalam kendali etika. Ada debat publik yang keras, tetapi kehangatan sosial tetap terjalin. Ada prinsip di dalam menyelenggarakan politik, tetapi tidak jatuh dalam fundamentalisme.
Penghargaan terhadap kualitas manusia menjamin tidak terjadinya ”pembunuhan karakter” dalam perselisihan politik. Dalam satu istilah: ruang publik berfungsi secara beradab. Di era itu, politik lebih dihayati sebagai inisiasi kebudayaan ketimbang transaksi kekuasaan.
Keinginan untuk membangun peradaban demokrasi adalah pikiran bersama yang menjadi dasar pergaulan politik di masa itu. Periode itu seperti hendak membuktikan bahwa setelah kemerdekaan politik adalah kemerdekaan individu. Bahwa komunalisme (terutama yang berbasis agama, etnis, dan identitas daerah) masih merupakan beban politik yang besar memang disadari, tetapi tidak terlalu dipikirkan oleh elite politik.
Di benak elite politik ketika itu, mengutak-atik komunalisme sama saja dengan membangunkan macan tidur: fundamentalisme dapat bangkit setiap saat. Keyakinan bahwa sebuah Indonesia modern harus dibangun berdasarkan akal sehat berwujud dalam berbagai produk politik: editorial media massa yang kritis, pengkaderan politik yang pedagogis, polemik kebudayaan yang konseptual, dan koalisi-koalisi politik yang rasional-programatis.
Ada kondisi citizenship yang sehat, yaitu tumbuhnya kesadaran akan hak-hak politik sekaligus berlangsungnya dinamika politik yang terbuka. Periode demokrasi liberal itu menjamin penuh pemenuhan political rights, sekaligus menyelenggarakan suasana civil liberties.
Dari sudut interpretasi teori politik kontemporer, periode liberal itu telah memenuhi semua persyaratan normatif suatu sistem demokrasi: penghormatan integritas individu untuk menjamin hak asasi manusia, berlangsungnya overlapping consensus untuk mencegah sektarianisme, publisitas untuk mengaktifkan ruang publik, dan toleransi otentik untuk menghindari fundamentalisme.
Interpretasi ini mungkin terlalu elitis, tetapi sumber-sumber sejarah terus membawa bukti bahwa sebuah kultur politik liberal dapat diselenggarakan di sebuah negeri yang ”timur”.
Idealisme itu memang cepat berakhir. Era kebebasan politik itu dihentikan Presiden Soekarno di tengah jalan. Dari semua argumen yang diajukan untuk menutup demokrasi liberal, yang kemudian terbukti sebagai motif adalah keinginan Soekarno untuk mengendalikan politik ditambah kepentingan militer untuk masuk dalam sistem kekuasaan negara.
Sejak itu kita masuk dalam situasi kontrademokrasi: ”Demokrasi Terpimpin”. Politik kontrademokrasi ini terus berlanjut ke Presiden Soeharto. Ketika Orde Baru berjaya, kebebasan politik adalah juga barang haram.
Karena itu, liberalisme dilarang keras, bukan karena ia bawaan Barat, tapi karena ia adalah ancaman bagi otoritarianisme.
Waktu reformasi tiba, ia membawa kebebasan politik. Tetapi kutukan baru juga tetap diberikan padanya: liberalisme cum sekularisme adalah barang haram! Fatwa MUI menegaskan itu.
Di belakang kutukan itu ada sentimen anti-Barat, kendati MUI adalah lembaga keagamaan, bukan lobi politik. Bukan cuma MUI. Partai-partai politik yang terbakar semangat ”nasionalisme keras” juga terganggu dan bereaksi keras menolak liberalisme yang mereka anggap sebagai nenek moyang kapitalisme dan imperialisme.
Tentu, retorika semacam itu hanya berguna dalam situasi ”massa”, karena argumentasi memang tidak diperlukan untuk menyelenggarakan politik demagogis. Padahal, feodalisme dalam nomenklatura elite partailah yang justru terganggu oleh liberalisme. Dalam politik, slogan memang harus diumbar, sementara kepentingan ditutup rapat.
Psikologi politik kita memang masih dikendalikan oleh sindrom pascakolonial, yaitu kecurigaan paranoia pada semua yang ”asing” sambil mencari-cari pegangan pada ”politik identitas” untuk dipercaya sebagai yang ”asli”.
Plesetan lagu Garuda Pancasila ala mahasiswa menggambarkannya dengan bagus: ”...pribadi bangsaku; mau maju malu, malu-malu maju, maju malu-malu....”
l
l l
Dalam spektrum politik, liberalisme itu dapat berdiri di kiri, dapat juga duduk di kanan. Dalam politik Eropa, liberalisme bertanding dengan politik kiri. Politik buruh pasti memusuhi kebijakan liberal.
Tetapi liberalisme Eropa memiliki versi kiri, yaitu kaum sosial demokrat yang amat kritis terhadap kapitalisme.
Di Amerika, menjadi liberal berarti mengusung politik kiri: keadilan sosial. Tetapi simplifikasi ideologi semacam ini tidak lagi bertahan dalam kondisi politik postmodern. Misalnya, isu lingkungan yang seharusnya berwatak borjuis justru dikampanyekan secara intensif oleh politik kiri masa kini. Jadi, liberalisme dapat juga berbaring di tengah.
Sebagai pandangan politik, liberalisme memang menetapkan satu hal: individu adalah pemilik tunggal dirinya sendiri. Negara, agama, kultur, komunitas, pasar, nation, harus ditunda eksistensinya demi security individu.
Memang, penindasan negara dan agama dalam sejarah Eropa abad ke-17-lah yang menghasilkan paham itu. Tapi, bukan asal-usul historisnya yang penting, melainkan fungsinya dalam melindungi kebebasan individulah yang membuat liberalisme itu bermanfaat bagi setiap zaman.
Artinya, di setiap waktu, kala kebebasan terancam, entah oleh negara, agama, kapital, komunitas, atau paham-paham sosial absolut, maka kita memerlukan liberalisme sebagai argumen untuk melindungi diri.
Kita kini hidup dalam dunia yang multinilai. Situasi kebudayaan kontemporer memperlihatkan bahwa medan orientasi nilai sungguh amat terbuka. Tidak ada lagi identitas politik yang final, asli, dan stabil.
Definisi tentang hidup dapat ditemukan di mana saja. Dan politik selalu ada dalam kondisi in the making, sarat imajinasi, bahkan cenderung dalam ide bermain-main. Dalam dunia yang seperti itu, toleransi liberal berarti sensitivitas terhadap pilihan-pilihan individual.
Kredo liberalisme adalah bahwa ruang pilihan politik individu tidak boleh ditutup demi ajaran apa pun. Dengan prinsip itu politik liberal melindungi diri dari klaim mayoritarianisme dan promosi eksklusivisme.
Namun, kaum liberal tidak sekadar mengamankan diri di dalam metafisika individualisme, lalu hidup dalam ilusi kebebasan. Sesungguhnya, sejarah politik liberalisme adalah sejarah perjuangan kebebasan, yaitu tindakan untuk menghentikan penghinaan terhadap martabat manusia.
Karena itu, keadilan sosial dan kesetaraan adalah tema yang menetap dalam politik liberal. Demi itu, kekuasaan negara difungsikan.
Artinya, intervensi politik negara diperlukan untuk memelihara kebebasan ruang politik agar setiap orang dapat merealisasi pilihan-pilihan nilainya. Tetapi mendahulukan hak tetaplah merupakan filsafat dasar liberalisme. Kesetaraan tidak boleh melampaui kebebasan individu.
Pada akhirnya,
menjadi liberal bukanlah suatu keahlian akademis atau kelihaian politis,
melainkan suatu pilihan etis, yaitu kehendak untuk menghormati manusia langsung
pada inti kemanusiaannya, yaitu kebebasannya!
l
l l
Esai ini tidak untuk membicarakan sistem pemerintahan: apakah sistem parlementer atau presidensial yang lebih baik kita pilih. Bahwa kedudukan presiden sekarang ini melemah berhadapan dengan politik parlemen bukan membuktikan bahwa sistem pemerintahan kita sudah beralih menjadi ”demokrasi liberal”.
Kelemahan kedudukan presiden itu adalah semata-mata soal kekurangan keahlian politik presiden. Sistem presidensial mengandalkan legitimasi langsung kekuasaan presiden pada hasil pemilu.
Filosofinya adalah bahwa hanya pemilu yang dapat membatalkan kekuasaan presiden. Deretan hak yang dimiliki DPR, sejauh-jauhnya ia ditafsirkan, tidak dapat melebihi mandat langsung yang diterima presiden dari rakyat.
Dalam sistem presidensial, yang sungguh-sungguh merupakan wakil rakyat bukan anggota DPR, melainkan presiden. Soalnya adalah apakah presiden memahami privilese politik itu dan memanfaatkannya untuk penguatan kebudayaan politik kita.
Liberalisme yang barusan kita bicarakan adalah lebih pada soal situasi kebudayaan politik yang mewadahi suatu sistem pemerintahan. Dan situasi itulah yang hari-hari ini tidak kita miliki. Kita mengalami defisit liberalisme. Kita memang menikmati political rights hasil reformasi, tetapi civil liberties justru sedang terancam oleh berbagai tekanan politik identitas.
”Liberalisme adalah
jalan yang sesat!” Kutukan politik itu masih menetap dalam kultur politik kita.
Tapi, agaknya, kini kita tidak perlu takut bila harus tersesat di jalan yang
benar.
(*Esai Rocky Gerung.