Ilustrasi Reklamasi |
Pengertian Reklamasi
Pertama-tama
mari kita lihat dan kaji satu persatu apa itu reklamasi dari peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan
pengertian reklamasi, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh
orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari
sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan
lahan atau drainase.
Siapa
‘Orang’ yang dimaksudkan di sini?
Tentu Orang
dan Badan Hukum, yang merupakan subyek hukum.
Sedangkan
dalam Penjelasan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, Reklamasi adalah pengurukan
wilayah perairan guna memperluas ruang daratan, penggunaan dan pemanfaatan
tanahnya harus sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah.
Dalam Pasal
1 angka 32 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, reklamasi
adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan wilayah perairan.
Selanjutnya
dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012
Tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengatakan pengertian
reklamasi sama sebagaimana pengertian reklamasi dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dari
peraturan perundang-undangan yang ada di atas maka dari situ kita dalam
menyimpulkan apa itu reklamasi, kemudian, selanjutnya aturan mengenai reklamasi
ini juga diatur dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi
Pantai Utara Jakarta, tapi harus kita pahami bahwa suatu
keputusan (beschikking) selalu bersifat individual,
konkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig).
Keputusan
berbeda dengan peraturan, keputusan itu bukan peraturan.
Suatu
peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara
terus menerus (dauerhaftig). Ini adalah normativity dalam
membaca suatu hierarkis peraturan perundang-undangan agar tak menjadi salah
kaprah.
Tapi suatu
keputusan dapat dimaknai sebagai peraturan kecuali untuk semua Keputusan
Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota yang sampai saat ini
masih berlaku dan mengatur hal yang umum.
Sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Mengenai kekuatan
hukum dan pemberlakuan suatu Keputusan Presiden, kembali pada materi yang
diatur dalam Keputusan Presiden tersebut.
Apabila
Keppres tersebut bersifat konkret, individual, sekali selesai, maka isi Keppres
hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu yang disebut dan
mengenai hal yang diatur dalam Keppres tersebut.
Beda halnya
jika Keppres tersebut berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus
menerus, maka Keppres tersebut berlaku untuk semua orang dan tetap berlaku
sampai Keppres tersebut dicabut atau diganti dengan aturan baru.
Sehingga
bukan lagi dalam bentuk keputusan tapi peraturan. Bisa dikatakan Keppres ini
bisa jadi sudah tidak berlaku lagi jika ada hal yang sifatnya mengatur atau
dikeluarkannya aturan baru. Oleh siapa? Tentu oleh Presiden, melalui Peraturan
Pemerintah.
Kasus Reklamasi Teluk Jakarta
Dilansir
dari Dkatadata.co.id, Judul berita atau artikelnya ‘Gubernur Anies Cabut
Seluruh Izin Reklamasi Teluk Jakarta’ penulisnya Dimas Djarot Bayu dan Editor
oleh Muchamad Nafi, hari kamis tanggal 27 September 2018, pukul 05.30 WIB.
(Baca juga : Gubernur Anies Cabut Seluruh Izin Reklamasi Teluk Jakarta)
Gubernur
DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut seluruh izin proyek reklamasi Teluk
Jakarta. Dengan demikian, pembangunan 17 pulau buatan di utara Jakarta tersebut
dihentikan secara total. Pencabutan ini didasarkan pada rekomendasi Badan
Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Badan yang
dibentuk melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 58 Tahun 2018
tentang Pembentukan, Organisasi Dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan
Reklamasi Pantai Utara Jakarta, itu telah memverifikasi dokumen
perizinan hingga kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta.
“Sehingga
kegiatan reklamasi di Jakarta bisa saya umumkan hari ini (kemarin) telah
dihentikan,” kata Anies melalui siaran pers Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
Rabu (26/9).
Proses
penghentian pembangunan reklamasi akan dilakukan dengan mengirim surat
pencabutan persetujuan prinsip kepada pihak pengembang. Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta pun hendak membatalkan surat perjanjian kerja sama pembangunan
reklamasi.
Kemudian,
dihitung nilai ekonomis dari kewajiban, kontribusi tambahan, dan kontribusi
yang sudah dilaksanakan oleh mitra melalui jasa penilai independen. Pengembang
yang sudah memberikan kontribusi tambahan, seperti rumah susun, jalan inspeksi,
dan sarana prasarana lain akan mendapat kompensasi.
“Berupa
konversi dengan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) atas kegiatan
usaha yang dilakukan di lokasi lain,” kata Anies.
Setelah ini
semua, Pemerintah DKI akan mengatur tata ruang dan mengelola pulau-pulau yang
telah dibangun. Menurut Anies, pihaknya sedang memantau dampak pembangunan
pulau reklamasi terhadap Pantai Utara Jakarta.
Hal
tersebut diharapkan menjadi rekomendasi perubahan bentuk serta rehabilitasi
pemulihan Pantai Utara Jakarta. Tak hanya itu, Pemprov DKI hendak merampungkan
Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Tata ruang
bagi pulau-pulau yang sudah jadi akan diatur dan digunakan sebaik-baiknya untuk
kepentingan masyarakat.”
Saat ini
terdapat 13 pulau yang belum dibangun, di antaranya Pulau A, B, E (PT
Kapuk Naga Indah), I, J, dan K (PT Pembangunan Jaya Ancol), dan M (PT Manggala
Krida Yudha). Kemudian Pulau O dan F (PT Jakarta Propertindo), P dan Q (KEK
Marunda Jakarta). Lalu, Pulau H (PT Taman Harapan Indah) dan Pulau I (PT
Jaladri Kartika Ekapaksi). Sementara itu terdapat tiga pulau yang mulai
dibangun, yakni Pulau C dan D (PT. Kapuk Naga Indah) dan Pulau G (PT. Muara
Wisesa Samudra).
Sebelumnya,
keberadaan Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi sempat dipermasalahkan oleh
Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ).
Mereka
menyatakan keputusan Anies Baswedan membentuk Badan ini sebagai
kemunduran. Anggota KSTJ Tigor Hutapea menyebut Anies seharusnya mendirikan
badan pengkajian reklamasi, bukan badan kelola.
Badan
pengkajian tersebut bertugas meneliti dampak reklamasi sehingga menjadi
pegangan Gubernur dalam menghentikan proyek tersebut. Apalagi langkah Anies
yang mendasari pembentukan Badan Pengelola berdasarkan Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta,
tidak tepat. Kepres tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.*)
Kasus Reklamasi Ternate
Selanjutnya,
reklamasi yang ada di Ternate, pada tahun 2017 lalu, Pemerintah Kota Ternate
sudah memrogramkan reklamasi di Pantai Kalumata. Dilansir dari
ambon.antaranews.com, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate, menyatakan telah
mengantongi izin pengkajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
reklamasi pantai Kalumata dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku
Utara.
“Izin
pengkajian Amdal reklamasi pantai Kalumata sudah diterbitkan Pemprov Maluku
Utara pada akhir Januari lalu. Jadi pengerjaan reklamasi itu akan segera
dimulai,” kata Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemkot Ternate,
Risfal Budianto di Ternate, Minggu 4 Februari 2018.
Bahkan
sudah pula mengalokasikan anggarannya untuk tahap pertama sebesar Rp5 miliar
pada APBD 2017. Hanya saja, saat itu pengerjaannya tidak dapat dilaksanakan
karena belum ada izin pengkajian Amdal dari Pemprov Maluku Utara.
Ia
mengatakan, reklamasi pantai Kalumata dengan lebar 75 meter dan panjang 300
meter itu akan dikerjakan secara bertahap, karena Adanya keterbatasan anggaran
Pemkot Ternate.
Pengerjaannya
diprogramkan rampung paling terlambat pada 2019. Lahan reklamasi pantai
Kalumata itu akan dimanfaatkan untuk kawasan pengembangan ekonomi baru di Kota
Ternate, sekaligus memberi kemudahan kepada para pelaku usaha dalam mendapatkan
lokasi usaha, yang saat ini di Ternate sangat sulit akibat terbatasnya
lahan.
Menurut
dia, kalau reklamasi di pantai Kalumata tersebut sudah selesai dan telah pula
dimanfaatkan para pelaku usaha untuk mengembangkan berbagai aktivitas usaha,
maka dipastikan meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus menyediakan lapangan
kerja bagi para pencari kerja di daerah ini.
Pemkot
Ternate juga telah memprogramkan pengembangan kawasan ekonomi baru di wilayah
Gambesi dan Kastela, Ternate Selatan untuk memperluas wilayah pengembangan
aktivitas usaha yang selama ini hanya terkonsentrasi di wilayah Ternate Tengah.
Risfal
menambahkan, Ternate akan dikembangkan menjadi pusat jasa dan perdagangan di
Provinsi Maluku Utara. Karena itu Pemkot Ternate terus berupaya
menyediakan berbagai infrastruktur penunjang di bidang jasa dan perdagangan.
(Baca: Pemkot Ternate kantongi amdal reklamasi pantai Kalumata )
Kasus Reklamasi Teluk Benoa
Kemudian,
teluk benoa yang ada di Bali. Dilansir dari
cnnindonesia.com, Proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, batal
dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
Izin lokasi
reklamasi yang dipegang perusahaan tersebut dianggap telah kedaluarsa sejak 26
Agustus lalu. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)
proyek reklamasi Teluk Benoa juga dinilai tidak layak karena aspek sosio
kultural yaitu adanya penolakan dari masyarakat. Forum Rakyat Bali
Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), gerakan yang lantang menolak reklamasi
di Pulau Dewata itu, menyatakan hal ini merupakan kemenangan rakyat Bali dalam
perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa sejak lima tahuin lalu.
“Amdalnya
tidak lulus kelayakan, pada saat yang sama izin lokasinya tidak berlaku, maka
otomatis proyek berhenti atau gagal. Teluk Benoa terselamatkan dari reklamasi
seluas 700 hektar oleh PT TWBI,” kata Koordinator ForBALI, Gendo Suardana
kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/8/18).
Mereka
berharap kemenangan ini dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus
mengkritisi pembangunan yang dinilai tidak adil. Selain menjadi pembelajaran
bagi pengusaha yang ingin berinvestasi agar memperhatikan lingkungan dan
kepentingan masyarakat.
“Kemenangan
yang diperoleh rakyat Bali ini tidak boleh memadamkan semangat untuk tetap
mengkritisi pemerintah karena masih ada perjuangan selanjutnya untuk
mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi,” kata Gendo dalam
keterangan tertulis.
Koster Imbau Tak
Ada Demo Pasangan calon gubernur Bali terpilih, Wayan Koster telah
memastikan rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, akan
dibatalkan untuk menyelamatkan mangrove.
“Begitu
saya dilantik, maka surat akan saya kirimkan kepada pihak-pihak yang berkaitan
dengan kewenangan rencana reklamasi Teluk Benoa ini,” kata Koster saat di
Kantor Transisi, Denpasar, Jumat (24/8) seperti dikutip Antara.
Koster
menyatakan kawasan Teluk Benoa akan dikonservasi kembali sebagai kawasan
pelestarian hutan mangrove. Dia pun menyatakan akan menindak tegas semua pihak
yang terbukti melakukan pelanggaran di wilayah hutan mangrove.
Koster juga
akan meminta pemerintah pusat hingga Pemerintah Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar, serta pihak ketiga dan pihak lain yang memiliki kewenangan langsung
maupun tidak langsung agar menghentikan atau tidak melanjutkan proses reklamasi
dalam bentuk apapun.
“Termasuk
studi kelayakan, analisa dampak lingkungan, dan kegiatan lain sepanjang
berkaitan dengan rencana reklamasi Teluk Benoa,” ucap Koster, didampingi
Cawagub Cok Ace dan Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama.
Koster juga
mengimbau kepada masyarakat yang pro dan kontra terhadap reklamasi agar tidak
menggelar aksi demonstrasi untuk membangun suasana kondusif. Dia akan
menuangkan sikap tersebut dalam kebijakan resmi Gubernur Bali setelah dilantik
pada 17 September mendatang.
Menanggapi
tuntutan kelompok demonstran yang meminta pencabutan Perpres Nomor
51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011
tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan
Tabanan, Koster menyebut pencabutan itu dapat merugikan daerah
lain.
“Perpres
tersebut tidak hanya mengatur Teluk Benoa, tetapi juga daerah lain dan tidak
menyuruh melakukan reklamasi,” ucapnya.
Sementara
Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama juga menyatakan penolakan total
rencana reklamasi Teluk Benoa. Dia menegaskan sikapnya satu visi dengan
pasangan Koster.
“Sikap kami
secara resmi menolak total reklamasi Teluk Benoa. Dengan kami hadir di sini,
artinya kami ikut menolak,” kata Adi Wiryatama di lokasi yang sama, saat
menghadiri pernyataan sikap Koster-Ace mengenai penolakan reklamasi Teluk
Benoa, Jumat (24/8).
( Baca: Reklamasi Teluk Benoa Disetop Berkat Penolakan Warga Bali )
Etika Lingkungan (Environmental Ethics)
Sekarang,
mari kita mulai menganalisa ini pelan-pelan satu persatu kasus reklamasi yang
ada di Indonesia di atas.
Dimulai
dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut izin
reklamasi dan memutuskan menghentikan total proyek reklamasi di Teluk
Jakarta. Ada 13 pulau reklamasi yang izinnya dicabut.
Anies
menyebut, izin reklamasi itu dicabut karena para pengembang yang mengantongi
izin tersebut tidak melaksanakan kewajiban mereka.
Sementara
itu, ada 4 pulau reklamasi yang tidak dicabut izinnya, yakni Pulau C, D,
G, dan N. Izin keempat pulau itu tidak dicabut karena pembangunannya sudah
dilaksanakan.
Dari
pandangan penulis, di sini dapat dilihat dari segi normativity ini
sifatnya hanyalah dilanggarnya hukum administrasi yaitu para pengembang yang
mengatongi izin tidak melaksanakan kewajibannya mereka, bisa juga
dapat dilihat dari perspektif hukum kontrak, yang tertuang dalam kontrak
tertulis antara Pemprov DKI dan pihak pengembang, namun di sini tak dijelaskan
lebih lanjut kewajiban apa yang tak dilaksanakan itu yang
pastinya kita bisa ambil suatu pikiran logic itu tentu pasti yang diatur dalam
aturan yang berlaku.
Kemudiam
teluk Ternate tetap dilakukan karena menurut AMDAL dinyatakan layak dan bisa
dilakukan, begitupun kasus teluk Benoa yang dipermasalahkan dilakukan
pengerjaan proyek reklamasi itu karena ada penolakan dari masyarakat Bali yang
saya nilai ini diukur dari keadaan sosiologis psikometri dari perspektif
hak-hak masyarakat setempat yang merasa itu dapat menganggu dan tidak
layak berdasarkan aspek sosio kultural.
Saya akan
buka cepat-cepat cara berpikir yang sedikit membuat saya, tidak, saya katakan
bahwa ada keraguan dalam keseriusan orang-orang dalam meneriakan isu lingkungan
hidup (environmental issues).
Pertama-tama
saya akan jabarkan mengenai penggunaan metode, gagasan dan cara berpikir yang
berasal dari ilmu pengetahuan alam (the natural sciences) adalah
cara atau metode berpikir yang sangat penting namun juga akan menimbulkan
masalah yang terus berlanjut dalam menyelesaikan isu sosial (Social Issues) di
masyarakat, bahkan akan ada gesekan antara ilmu alam ini dengan ilmu sosial.
Seperti
yang telah kita lihat, dalam abad Pencerahan (the Enlightenment),
dimana periode sejarah intelektual di Eropa awal abad ke-18 mulai kembali
berkembang. Kebanyakan pemikir, gerakan, dan proyek terpenting yang terkait
dengan Abad Pencerahan berbasis di Prancis.
Namun, para
pemikir Pencerahan juga aktif di sebagian besar negara Eropa utama pada hari
itu termasuk, penting, di Skotlandia.
Pada abad
ini sebagian besar pemikiran yang muncul itu berdasarkan
prinsip humanitarian atau humanism, keinginan untuk berubah untuk
meningkatkan institusi sosial.
Institusi
sosial dirasakan telah terjadi didominasi oleh sikap berdasarkan dogma agama
dan bentuk-bentuk yang independen dari tradisi yang sifatnya kolot. Perubahan
dan perbaikan harus dicapai terlebih dahulu dengan menerapkan metode
penyelidikan kritis dan rasional untuk terciptanya lembaga-lembaga sosial yang
baru, dengan demikian mengekspos basis dasar berpikir mereka yang
dahulu dalam mode opresif atau irasional pikir.
Pertanyaannya
apa hubungannya dengan reklamasi atau kasus-kasus di atas?
Bumi dinilai sebagai tempat
untuk hidup dan tinggal yang tidak hanya diperuntukkan bagi manusia saja,
melainkan juga bagi segala makhluk hidup lain seperti beragam jenis hewan dan
tumbuhan, dan tentunya benda-benda fisik lainnya.
Tentu
tergantung bagaimana keadaan geografis atau letak wilayah tersebut apakah
diwilayah itu dekat dengan Hutan atau dekat dengan Laut, yang ini lah yang kita
disebut dengan ekosistem. Keterkaitan dan timbal balik dari unsur- unsur
ini merupakan satu kesatuan ekologi.
Manusia itu
adalah bagian dari satu kesatuan ekologi itu, hubungan antara manusia
dengan alam berlangsung sejalan dengan perkembangan peradaban manusia di muka
bumi ini. Timbulnya perubahan interaksi antara manusia dengan lingkungan
umumnya disebabkan oleh pengaruh pertambahan penduduk (unsur sistem sosial)
serta pengaruh unsur sistem ekonomi seperti ekonomi pasar, situasi politik, dan
kebijakan pemerintah.
Dari sisi
ekologi, faktor penduduk dikategorikan sebagai faktor internal, sementara
ekonomi pasar, situasi politik, dan kebijakan pemerintah adalah faktor
eksternal. Perubahan ini juga terjadi karena secara fisik manusia dapat
dikatakan sebagai makhluk yang lemah sehingga membutuhkan bantuan dan sangat
tergantung kepada komponen ekosistem lainnya untuk menjalankan perikehidupan
dan meningkatkan kesejahteraannya.
Muncul
pertanyaan penting?
“Apakah
reklamasi itu memberikan dampak negative atau positif?”
Tegas saya
katakan, reklamasi itu memberikan dampak yang
sangat antagonistic untuk alam dan sangat mengganggu fisik dan
materil alam bahkan justru menghina intelektualitas manusia itu sendiri.
“Kenapa?”
Karena
Manusia harus dilihat sebagai bagian dari alam.
Dalil dan
poin yang ingin diucapkan ada di situ. Terlepas dari persoalan-persoalan yang
ada di atas yang tidak akan ada habisnya jika yang dibicarakan itu dari
kacamata antroposentris, ya, karena tidak memberikan lapangan pekerjaan, tidak
menguntungkan masyarakat kecil, tidak sesuai kebudayaan setempat.
Teori
Antroposentris sendiri sudah terbantahkan dan akhirnya teori itu
terbantahkan dengan munculnya teori geosentris dan kemudia
oleh seorang Nicolaus Copernicus kita mengakui
teori heliosentris, jika pusat dari alam semesta dalam artian tata surya
adalah matahari, bukan bumi dan manusia.
Manusia itu
makhluk yang menghasilkan suatu peradaban dengan instrument berpikir dengan
ilmu, pengetahuan, akal yang sehat untuk terus melahirkan, melahirkan apa?
Kehidupan.
Mari kita
buka, apa itu manusia. Sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap
ada sebagai bagian dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari,
seperti misalnya berkomunikasi.
Namun,
sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah
ilusi, yakni seolah ada, namun sebenarnya tak ada.
Di balik
kata “manusia”, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama,
terutama di Eropa dan Timur Tengah.
Manusia
dilihat sebagai mahluk yang istimewa, lebih daripada mahluk hidup lainnya,
sehingga punya hak untuk menguasai bumi. Tentu saja, yang merumuskan pandangan
tersebut juga “manusia”. Ada konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus
ditanggapi secara kritis.
Manusia
sebagai bagian dari alam, artinya ia Tidak lebih tinggi, atau lebih
rendah. Ia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut sebagai semesta (Universum).
Pandangan semacam ini kini semakin banyak diterima, terutama karena dianggap
lebih sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan lebih “ramah
lingkungan” oleh para pencinta lingkungan hidup.
Lebih dari
itu, berbagai penelitian ilmiah terbaru menegaskan, bahwa “manusia” tidak
memiliki inti di dalamnya. Tidak ada “tuan” atau “aku” yang menjadi penentu
keputusan. Tidak ada subyek yang menjadi pengendali dari gerak pikiran dan
tubuh. Konsep “jati diri” lebih merupakan ilusi untuk kepentingan sehari-hari,
dan bukan kenyataan yang utuh dan kokoh.
Memang
suatu kabar baik dengan adanya penghentian reklamasi ini oleh Gubernur DKI
Jakarta, dan ini langkah awal bagi Gubernur saat ini untuk serius menghadapi
isu-isu lingkungan hidup dengan kacamata yang berbeda, lepas dari
pikiran-pikiran antroposentris, baik itu secara ekonomi, sosial-politik, hukum,
budaya, dsb.
Hanya satu
fokusnya yaitu Ekologi, tentu instrument-instrument seperti ekonomi,
sosial-politik, hukum, budaya juga menjadi motor penggerak penting untuk
membantu menyelesaikan isu lingkungan dan manusia di sini harus berlaku
sebagai legal standing bagi lingkungan karena ia dapat berpikir,
berbicara untuk menyuarakan hak-hak yang melekat pada setiap makhluk hidup,
bukan hanya manusia tapi alam beserta isinya.