layananhukum

Reklamasi, Etika Lingkungan dan Manusia sebagai Legal Standing bagi Alam

Ilustrasi Reklamasi


Pengertian Reklamasi

Pertama-tama mari kita lihat dan kaji satu persatu apa itu reklamasi dari peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memberikan pengertian reklamasi, reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.

Siapa ‘Orang’ yang dimaksudkan di sini?

Tentu Orang dan Badan Hukum, yang merupakan subyek hukum.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 12  Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, Reklamasi adalah pengurukan wilayah perairan guna memperluas ruang daratan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya harus sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah. 

Dalam Pasal 1 angka 32 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, reklamasi adalah kegiatan penimbunan dan pengeringan wilayah perairan. 

Selanjutnya dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengatakan pengertian reklamasi sama sebagaimana pengertian reklamasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dari peraturan perundang-undangan yang ada di atas maka dari situ kita dalam menyimpulkan apa itu reklamasi, kemudian, selanjutnya aturan mengenai reklamasi ini juga diatur dalam Keppres Nomor 52 Tahun 1995 Tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tapi harus kita pahami bahwa suatu keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, konkret dan berlaku sekali selesai (enmahlig). 

Keputusan berbeda dengan peraturan, keputusan itu bukan peraturan.

Suatu peraturan (regels) selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig). Ini adalah normativity dalam membaca suatu hierarkis peraturan perundang-undangan agar tak menjadi salah kaprah.

Tapi suatu keputusan dapat dimaknai sebagai peraturan kecuali untuk semua Keputusan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal yang umum.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan. Mengenai kekuatan hukum dan pemberlakuan suatu Keputusan Presiden, kembali pada materi yang diatur dalam Keputusan Presiden tersebut.

Apabila Keppres tersebut bersifat konkret, individual, sekali selesai, maka isi Keppres hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu yang disebut dan mengenai hal yang diatur dalam Keppres tersebut. 

Beda halnya jika Keppres tersebut berisi muatan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus, maka Keppres tersebut berlaku untuk semua orang dan tetap berlaku sampai Keppres tersebut dicabut atau diganti dengan aturan baru. 

Sehingga bukan lagi dalam bentuk keputusan tapi peraturan. Bisa dikatakan Keppres ini bisa jadi sudah tidak berlaku lagi jika ada hal yang sifatnya mengatur atau dikeluarkannya aturan baru. Oleh siapa? Tentu oleh Presiden, melalui Peraturan Pemerintah.

Kasus Reklamasi Teluk Jakarta

Dilansir dari Dkatadata.co.id, Judul berita atau artikelnya ‘Gubernur Anies Cabut Seluruh Izin Reklamasi Teluk Jakarta’ penulisnya Dimas Djarot Bayu dan Editor oleh Muchamad Nafi, hari kamis tanggal 27 September 2018, pukul 05.30 WIB.

(Baca juga : Gubernur Anies Cabut Seluruh Izin Reklamasi Teluk Jakarta

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut seluruh izin proyek reklamasi Teluk Jakarta. Dengan demikian, pembangunan 17 pulau buatan di utara Jakarta tersebut dihentikan secara total. Pencabutan ini didasarkan pada rekomendasi Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Badan yang dibentuk melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi Dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, itu telah memverifikasi dokumen perizinan hingga kegiatan reklamasi di Teluk Jakarta.

“Sehingga kegiatan reklamasi di Jakarta bisa saya umumkan hari ini (kemarin) telah dihentikan,” kata Anies melalui siaran pers Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Rabu (26/9). 

Proses penghentian pembangunan reklamasi akan dilakukan dengan mengirim surat pencabutan persetujuan prinsip kepada pihak pengembang. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun hendak membatalkan surat perjanjian kerja sama pembangunan reklamasi. 

Kemudian, dihitung nilai ekonomis dari kewajiban, kontribusi tambahan, dan kontribusi yang sudah dilaksanakan oleh mitra melalui jasa penilai independen. Pengembang yang sudah memberikan kontribusi tambahan, seperti rumah susun, jalan inspeksi, dan sarana prasarana lain akan mendapat kompensasi.

“Berupa konversi dengan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) atas kegiatan usaha yang dilakukan di lokasi lain,” kata Anies.

Setelah ini semua, Pemerintah DKI akan mengatur tata ruang dan mengelola pulau-pulau yang telah dibangun. Menurut Anies, pihaknya sedang memantau dampak pembangunan pulau reklamasi terhadap Pantai Utara Jakarta. 

Hal tersebut diharapkan menjadi rekomendasi perubahan bentuk serta rehabilitasi pemulihan Pantai Utara Jakarta. Tak hanya itu, Pemprov DKI hendak merampungkan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 

“Tata ruang bagi pulau-pulau yang sudah jadi akan diatur dan digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat.” 

Saat ini terdapat 13 pulau yang belum dibangun, di antaranya Pulau A, B, E  (PT Kapuk Naga Indah), I, J, dan K (PT Pembangunan Jaya Ancol), dan M (PT Manggala Krida Yudha). Kemudian Pulau O dan F (PT Jakarta Propertindo), P dan Q (KEK Marunda Jakarta). Lalu, Pulau H (PT Taman Harapan Indah) dan Pulau I (PT Jaladri Kartika Ekapaksi). Sementara itu terdapat tiga pulau yang mulai dibangun, yakni Pulau C dan D (PT. Kapuk Naga Indah) dan Pulau G (PT. Muara Wisesa Samudra).

Sebelumnya, keberadaan Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi sempat dipermasalahkan oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ).

Mereka menyatakan keputusan Anies Baswedan membentuk Badan ini sebagai kemunduran. Anggota KSTJ Tigor Hutapea menyebut Anies seharusnya mendirikan badan pengkajian reklamasi, bukan badan kelola.

Badan pengkajian tersebut bertugas meneliti dampak reklamasi sehingga menjadi pegangan Gubernur dalam menghentikan proyek tersebut. Apalagi langkah Anies yang mendasari pembentukan Badan Pengelola berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tidak tepat. Kepres tersebut sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.*)

Kasus Reklamasi Ternate

Selanjutnya, reklamasi yang ada di Ternate, pada tahun 2017 lalu, Pemerintah Kota Ternate sudah memrogramkan reklamasi di Pantai Kalumata. Dilansir dari ambon.antaranews.com, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate, menyatakan telah mengantongi izin pengkajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) reklamasi pantai Kalumata dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara. 

“Izin pengkajian Amdal reklamasi pantai Kalumata sudah diterbitkan Pemprov Maluku Utara pada akhir Januari lalu. Jadi pengerjaan reklamasi itu akan segera dimulai,” kata Kadis Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pemkot Ternate, Risfal Budianto di Ternate, Minggu 4 Februari 2018.

Bahkan sudah pula mengalokasikan anggarannya untuk tahap pertama sebesar Rp5 miliar pada APBD 2017. Hanya saja, saat itu pengerjaannya tidak dapat dilaksanakan karena belum ada izin pengkajian Amdal dari Pemprov Maluku Utara.

Ia mengatakan, reklamasi pantai Kalumata dengan lebar 75 meter dan panjang 300 meter itu akan dikerjakan secara bertahap, karena Adanya keterbatasan anggaran Pemkot Ternate.

Pengerjaannya diprogramkan rampung paling terlambat pada 2019. Lahan reklamasi pantai Kalumata itu akan dimanfaatkan untuk kawasan pengembangan ekonomi baru di Kota Ternate, sekaligus memberi kemudahan kepada para pelaku usaha dalam mendapatkan lokasi usaha, yang saat ini di Ternate sangat sulit akibat terbatasnya lahan. 

Menurut dia, kalau reklamasi di pantai Kalumata tersebut sudah selesai dan telah pula dimanfaatkan para pelaku usaha untuk mengembangkan berbagai aktivitas usaha, maka dipastikan meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus menyediakan lapangan kerja bagi para pencari kerja di daerah ini.

Pemkot Ternate juga telah memprogramkan pengembangan kawasan ekonomi baru di wilayah Gambesi dan Kastela, Ternate Selatan untuk memperluas wilayah pengembangan aktivitas usaha yang selama ini hanya terkonsentrasi di wilayah Ternate Tengah.

Risfal menambahkan, Ternate akan dikembangkan menjadi pusat jasa dan perdagangan di Provinsi Maluku Utara. Karena itu Pemkot Ternate terus berupaya menyediakan berbagai infrastruktur penunjang di bidang jasa dan perdagangan.

(Baca: Pemkot Ternate kantongi amdal reklamasi pantai Kalumata )

Kasus Reklamasi Teluk Benoa

Kemudian, teluk benoa yang ada di Bali. Dilansir dari cnnindonesia.com, Proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, batal dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).

Izin lokasi reklamasi yang dipegang perusahaan tersebut dianggap telah kedaluarsa sejak 26 Agustus lalu. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) proyek reklamasi Teluk Benoa juga dinilai tidak layak karena aspek sosio kultural yaitu adanya penolakan dari masyarakat.  Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), gerakan yang lantang menolak reklamasi di Pulau Dewata itu, menyatakan hal ini merupakan kemenangan rakyat Bali dalam perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa sejak lima tahuin lalu.

“Amdalnya tidak lulus kelayakan, pada saat yang sama izin lokasinya tidak berlaku, maka otomatis proyek berhenti atau gagal. Teluk Benoa terselamatkan dari reklamasi seluas 700 hektar oleh PT TWBI,” kata Koordinator ForBALI, Gendo Suardana kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/8/18). 

Mereka berharap kemenangan ini dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi pembangunan yang dinilai tidak adil. Selain menjadi pembelajaran bagi pengusaha yang ingin berinvestasi agar memperhatikan lingkungan dan kepentingan masyarakat.

“Kemenangan yang diperoleh rakyat Bali ini tidak boleh memadamkan semangat untuk tetap mengkritisi pemerintah karena masih ada perjuangan selanjutnya untuk mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi,” kata Gendo dalam keterangan tertulis.

Koster Imbau Tak Ada Demo Pasangan calon gubernur Bali terpilih, Wayan Koster telah memastikan rencana reklamasi di kawasan Teluk Benoa, Kabupaten Badung, akan dibatalkan untuk menyelamatkan mangrove. 

“Begitu saya dilantik, maka surat akan saya kirimkan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kewenangan rencana reklamasi Teluk Benoa ini,” kata Koster saat di Kantor Transisi, Denpasar, Jumat (24/8) seperti dikutip Antara. 

Koster menyatakan kawasan Teluk Benoa akan dikonservasi kembali sebagai kawasan pelestarian hutan mangrove. Dia pun menyatakan akan menindak tegas semua pihak yang terbukti melakukan pelanggaran di wilayah hutan mangrove. 

Koster juga akan meminta pemerintah pusat hingga Pemerintah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, serta pihak ketiga dan pihak lain yang memiliki kewenangan langsung maupun tidak langsung agar menghentikan atau tidak melanjutkan proses reklamasi dalam bentuk apapun.

“Termasuk studi kelayakan, analisa dampak lingkungan, dan kegiatan lain sepanjang berkaitan dengan rencana reklamasi Teluk Benoa,” ucap Koster, didampingi Cawagub Cok Ace dan Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama. 

Koster juga mengimbau kepada masyarakat yang pro dan kontra terhadap reklamasi agar tidak menggelar aksi demonstrasi untuk membangun suasana kondusif. Dia akan menuangkan sikap tersebut dalam kebijakan resmi Gubernur Bali setelah dilantik pada 17 September mendatang.  

Menanggapi tuntutan kelompok demonstran yang meminta pencabutan Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan, Koster menyebut pencabutan itu dapat merugikan daerah lain. 

“Perpres tersebut tidak hanya mengatur Teluk Benoa, tetapi juga daerah lain dan tidak menyuruh melakukan reklamasi,” ucapnya.

Sementara Ketua DPRD Provinsi Bali I Nyoman Adi Wiryatama juga menyatakan penolakan total rencana reklamasi Teluk Benoa. Dia menegaskan sikapnya satu visi dengan pasangan Koster. 

“Sikap kami secara resmi menolak total reklamasi Teluk Benoa. Dengan kami hadir di sini, artinya kami ikut menolak,” kata Adi Wiryatama di lokasi yang sama, saat menghadiri pernyataan sikap Koster-Ace mengenai penolakan reklamasi Teluk Benoa, Jumat (24/8).

Baca: Reklamasi Teluk Benoa Disetop Berkat Penolakan Warga Bali )

Etika Lingkungan (Environmental Ethics)

Sekarang, mari kita mulai menganalisa ini pelan-pelan satu persatu kasus reklamasi yang ada di Indonesia di atas.

Dimulai dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut izin reklamasi dan memutuskan menghentikan total proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Ada 13 pulau reklamasi yang izinnya dicabut.

Anies menyebut, izin reklamasi itu dicabut karena para pengembang yang mengantongi izin tersebut tidak melaksanakan kewajiban mereka.

Sementara itu, ada 4 pulau reklamasi yang tidak dicabut izinnya, yakni Pulau C, D, G, dan N. Izin keempat pulau itu tidak dicabut karena pembangunannya sudah dilaksanakan.

Dari pandangan penulis, di sini dapat dilihat dari segi normativity ini sifatnya hanyalah dilanggarnya hukum administrasi yaitu para pengembang yang mengatongi izin tidak melaksanakan kewajibannya mereka, bisa juga dapat dilihat dari perspektif hukum kontrak, yang tertuang dalam kontrak tertulis antara Pemprov DKI dan pihak pengembang, namun di sini tak dijelaskan lebih lanjut kewajiban apa  yang tak dilaksanakan  itu yang pastinya kita bisa ambil suatu pikiran logic itu tentu pasti yang diatur dalam aturan yang berlaku.

Kemudiam teluk Ternate tetap dilakukan karena menurut AMDAL dinyatakan layak dan bisa dilakukan, begitupun kasus teluk Benoa yang dipermasalahkan dilakukan pengerjaan proyek reklamasi itu karena ada penolakan dari masyarakat Bali yang saya nilai ini diukur dari keadaan sosiologis psikometri dari perspektif hak-hak masyarakat setempat yang merasa itu dapat menganggu dan tidak layak berdasarkan aspek sosio kultural.

Saya akan buka cepat-cepat cara berpikir yang sedikit membuat saya, tidak, saya katakan bahwa ada keraguan dalam keseriusan orang-orang dalam meneriakan isu lingkungan hidup (environmental issues).

Pertama-tama saya akan jabarkan mengenai penggunaan metode, gagasan dan cara berpikir yang berasal dari ilmu  pengetahuan alam (the natural sciences) adalah cara atau metode berpikir yang sangat penting namun juga akan menimbulkan masalah yang terus berlanjut dalam menyelesaikan isu sosial (Social Issues) di masyarakat, bahkan akan ada gesekan antara ilmu alam ini dengan ilmu sosial.

Seperti yang telah kita lihat, dalam abad Pencerahan (the Enlightenment), dimana periode sejarah intelektual di Eropa awal abad ke-18 mulai kembali berkembang. Kebanyakan pemikir, gerakan, dan proyek terpenting yang terkait dengan Abad Pencerahan berbasis di Prancis.

Namun, para pemikir Pencerahan juga aktif di sebagian besar negara Eropa utama pada hari itu termasuk, penting, di Skotlandia.  

Pada abad ini sebagian besar pemikiran yang muncul itu berdasarkan prinsip humanitarian atau humanism, keinginan untuk berubah untuk meningkatkan institusi sosial.

Institusi sosial dirasakan telah terjadi didominasi oleh sikap berdasarkan dogma agama dan bentuk-bentuk yang independen dari tradisi yang sifatnya kolot. Perubahan dan perbaikan harus dicapai terlebih dahulu dengan menerapkan metode penyelidikan kritis dan rasional untuk terciptanya lembaga-lembaga sosial yang baru, dengan demikian mengekspos basis dasar  berpikir mereka yang dahulu dalam mode opresif atau irasional pikir.

Pertanyaannya apa hubungannya dengan reklamasi atau kasus-kasus di atas?

Bumi dinilai sebagai tempat untuk hidup dan tinggal yang tidak hanya diperuntukkan bagi manusia saja, melainkan juga bagi segala makhluk hidup lain seperti beragam jenis hewan dan tumbuhan, dan tentunya benda-benda fisik lainnya. 

Tentu tergantung bagaimana keadaan geografis atau letak wilayah tersebut apakah diwilayah itu dekat dengan Hutan atau dekat dengan Laut, yang ini lah yang kita disebut dengan ekosistem. Keterkaitan dan timbal balik dari unsur- unsur ini merupakan satu kesatuan ekologi.

Manusia itu adalah bagian dari satu kesatuan ekologi itu, hubungan antara manusia dengan alam berlangsung sejalan dengan perkembangan peradaban manusia di muka bumi ini. Timbulnya perubahan interaksi antara manusia dengan lingkungan umumnya disebabkan oleh pengaruh pertambahan penduduk (unsur sistem sosial) serta pengaruh unsur sistem ekonomi seperti ekonomi pasar, situasi politik, dan kebijakan pemerintah.

Dari sisi ekologi, faktor penduduk dikategorikan sebagai faktor internal, sementara ekonomi pasar, situasi politik, dan kebijakan pemerintah adalah faktor eksternal. Perubahan ini juga terjadi karena secara fisik manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang lemah sehingga membutuhkan bantuan dan sangat tergantung kepada komponen ekosistem lainnya untuk menjalankan perikehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya.

Muncul pertanyaan penting?

“Apakah reklamasi itu memberikan dampak negative atau positif?”

Tegas saya katakan, reklamasi itu memberikan dampak yang sangat antagonistic untuk alam dan sangat mengganggu fisik dan materil alam bahkan justru menghina intelektualitas manusia itu sendiri.

“Kenapa?”

Karena Manusia harus dilihat sebagai bagian dari alam.

Dalil dan poin yang ingin diucapkan ada di situ. Terlepas dari persoalan-persoalan yang ada di atas yang tidak akan ada habisnya jika yang dibicarakan itu dari kacamata antroposentris, ya, karena tidak memberikan lapangan pekerjaan, tidak menguntungkan masyarakat kecil, tidak sesuai kebudayaan setempat.

Teori Antroposentris sendiri sudah terbantahkan  dan akhirnya teori itu terbantahkan dengan munculnya teori geosentris dan kemudia oleh  seorang Nicolaus Copernicus kita mengakui teori heliosentris, jika pusat dari alam semesta dalam artian tata surya adalah matahari, bukan bumi dan manusia.

Manusia itu makhluk yang menghasilkan suatu peradaban dengan instrument berpikir dengan ilmu, pengetahuan, akal yang sehat untuk terus melahirkan, melahirkan apa? Kehidupan.

Mari kita buka, apa itu manusia. Sebuah realitas tidaklah pernah ada. Ia dianggap ada sebagai bagian dari kesepakatan sosial untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti misalnya berkomunikasi.

Namun, sebagai sebuah kenyataan yang utuh dan kokoh, ia tidak pernah ada. Ia adalah ilusi, yakni seolah ada, namun sebenarnya tak ada.

Di balik kata “manusia”, ada sebuah tradisi pemikiran yang telah berkembang lama, terutama di Eropa dan Timur Tengah.

Manusia dilihat sebagai mahluk yang istimewa, lebih daripada mahluk hidup lainnya, sehingga punya hak untuk menguasai bumi. Tentu saja, yang merumuskan pandangan tersebut juga “manusia”. Ada konflik kepentingan di dalamnya yang harus terus ditanggapi secara kritis.

Manusia sebagai bagian dari alam, artinya ia Tidak lebih tinggi, atau lebih rendah. Ia adalah bagian dari keseluruhan yang disebut sebagai semesta (Universum). Pandangan semacam ini kini semakin banyak diterima, terutama karena dianggap lebih sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan lebih “ramah lingkungan” oleh para pencinta lingkungan hidup. 

Lebih dari itu, berbagai penelitian ilmiah terbaru menegaskan, bahwa “manusia” tidak memiliki inti di dalamnya. Tidak ada “tuan” atau “aku” yang menjadi penentu keputusan. Tidak ada subyek yang menjadi pengendali dari gerak pikiran dan tubuh. Konsep “jati diri” lebih merupakan ilusi untuk kepentingan sehari-hari, dan bukan kenyataan yang utuh dan kokoh.

Memang suatu kabar baik dengan adanya penghentian reklamasi ini oleh Gubernur DKI Jakarta, dan ini langkah awal bagi Gubernur saat ini untuk serius menghadapi isu-isu lingkungan hidup dengan kacamata yang berbeda, lepas dari pikiran-pikiran antroposentris, baik itu secara ekonomi, sosial-politik, hukum, budaya, dsb.

Hanya satu fokusnya yaitu Ekologi, tentu instrument-instrument seperti ekonomi, sosial-politik, hukum, budaya juga menjadi motor penggerak penting untuk membantu menyelesaikan isu lingkungan dan manusia di sini harus berlaku sebagai legal standing bagi lingkungan karena ia dapat berpikir, berbicara untuk menyuarakan hak-hak yang melekat pada setiap makhluk hidup, bukan hanya manusia tapi alam beserta isinya.

Formulir Isian